PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang tidak
dapat hidup sendiri yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Baik dengan cara jual beli, sewa-menyewa dan pinjam-meminjam, baik
dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Islam mengatur hubungan yang kuat
antara akhlak, akidah, ibadah dan muamalah. Aspek Muamalah merupakan
aturan main bagi manusia dalam menjalankan kehidupan sosial, sekaligus
merupakan dasar untuk membangun sistem perekonomian yang sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Ajaran muamalah akan menahan manusia dari menghalalkan
segala cara untuk mencari rezeki. Muamalah mengajarkan manusia memperoleh
rezeki dengan cara yang halal dan baik.
Dalam khazanah fiqh, kata
pinjam-meminjam uang secara kebahasaan berasal dari kata al-qardl yang berarti
hutang-piutang. Dalam pengertian yang umum, hutang-piutang mencakup transaksi
jual beli dan sewa-menyewa yang dilakukan secara tidak tunai. Pemhaman
masyarakat tentang hutang-piutang dan pinjam-meminjam sangat bervariasi.
Jual beli adalah kegiatan
tukar-menukar barang dengan cara tertentu yang setiap hari pasti dilakukan yang
kadang kita tidak tahu apakah sah atau tidak. Oleh karena itu, pada makalah ini
akan membahas tentang jual beli, sewa-menyewa dan pinjam-meminjam agar para
pembaca tidak masuk dalam jurang riba.
B. Rumusan Masalah
1. Jual Beli (
Ba’i )
a. Apa definisi,
landasan dan rukun jual beli?
b. Apa syarat jual
beli?
c. Apa syarat
ma’qud ‘alaih (barang) yang dapat diperjual belikan?
d. Apa saja jual
beli yang dilarang dalam Islam?
e. Apa saja
macam-macam jual beli?
2. Sewa-Menyewa (
Ijarah )
a. Apakah dasar
hukum sewa-menyewa?
b. Apa rukun dan
syarat sewa-menyewa?
c. Apa saja sebab
batalnya akad sewa-menyewa?
d. Apa saja contoh
persewaan?
3. Pinjam-Meminjam
( ‘Ariyah )
a. Siapakah orang
yang meminjamkan dan apa saja macam barang yang dipinjamkan?
b. Apa Shighat
pinjam-meminjam?
c. Apakah boleh
menarik kembali barang pinjaman?
d. Apa hukum
pinjam-meminjam?
C. Tujuan
Penulisan
1. Jual Beli ( Ba’i )
a. Untuk mengetahui definisi, landasan dan rukun jual
beli.
b. Untuk mengetahui syarat jual beli.
c. Untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) jual beli.
d. Untuk mengetahui jual beli yang dilarang dalam Islam.
e. Untuk mengetahui macam-macam jual beli.
2. Sewa-Menyewa ( Ijarah )
a. Untuk mengetahui dasar hukum sewa-menyewa.
b. Untuk mengetahui rukun dan syarat sewa-menyewa.
c. Untuk mengetahui sebab batalnya akad sewa-menyewa.
d. Untuk mengetahui contoh sewa-menyewa.
3. Pinjam-Meminjam
( ‘Ariyah )
a. Untuk
mengetahui orang yang meminjamkan dan apa saja macam barang yang dipinjamkan.
b. Untuk
mengetahui shighat pinjam-meminjam.
c. Untuk
mengetahui apakah boleh menarik kembali barang pinjaman.
d. Untuk
mengatahui hukum pinjam-meminjam.
BAB II
JUAL-BELI (BA’I)
A. Definisi,
Landasan, dan Rukun Jual-beli
1. Pengertian
jual-beli
Menurut etimologi,
jual-beli diartikan
مُقَابَلَةُ
شَيْءٍ بِشَيْءٍ
“Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain).”
Kata lain dari al-bai’i adalah asy-syiro,
al-mubada, dan at-tijaroh. Berkenaan dengan kata at-tijaroh,dalam
al-quran surat fathir ayat 29 dinyatakan:
يَرْجُونَ
تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
Artinya:
“Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi”.
Adapun
jual-beli menurut terminologi, para ulama berpendapat dalam
mendefinisikannya antara lain:
a. Menurut
hanafiyah:
Artinya:
“Pertukaran (harta benda) dengan harta berdasarkan cara khusus”.
b. Menurut Imam
Nawawi dalam al-majmu’’:
Artinya:
“pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”
c. Menurut Ibnu
Qodamah dalam kitab Al-Mugni:
Artinya:
“petukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik”
2. Landasan syara’
a. Al-Quran, diantaranya:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya:
“padahal Allah
telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. (QS.Al-Baqarah: 275).
...وَأَشْهِدُوا إِذَا
تَبَايَعْتُمْ...
Artinya:
“Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual-beli” (QS. Al-Baqarah 282).
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Artinya:
“Kecuali dengan
jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka”. (QS. An-Nisa: 29).
b. As-sunnah:
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ - رضي
الله عنه - أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ
أَطْيَبُ? قَالَ: - عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ -
رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ، وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Artinya:
“Dari Rifa’ah ibn Rafi’ RA. Nabi SAW. Ditanya tentang mata pencaharian yang
paling baik, beliau menjawab, ‘Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap
jual-beli yang mabrur’.”
(HR. Bazzar, hakim menyahihkannya dari Rifa’ah ibn Rafi’)
إنما البيع عن تراض
Artinya:
“jual-beli harus dipastikan saling meridai”.
(HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah)
Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah
jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.
c. Ijma’
Ulama’ telah sepakat bahwa jual-beli
diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan
dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik
orang lain yang di butuhkannya itu, harus diganti dengan barang lain yang
sesuai.
3. Rukun dan
pelaksanaan jual-beli
Dalam menetapkan rukun jual-beli,
diantara ulama’ terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama’ Hanafiyah, rukun
jual-beli adalah ijab dan qabulyang menunjukkan
pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Adapun rukun jual-beli
menurut jumhurul ulama’ ada empat yaitu:
1. Bai’ (penjual)
2. Mustari (pembeli)
3. Shighat (ijab dan
qabul)
4. Ma’qud alaih (benda
atau barang)
B. Syarat
jual-beli
Dalam jual-beli terdapat empat macam
syarat, yaitu syarat terjadinya aqad (in’iqad), syarat sahnya
aqad, syarat terlaksanya aqad (nafadz), dan syarat lujum.
Secara umum tujuan adanya
semua syarat tersebut antara lain untuk menghindari pertentangan diantara
manusia, menjaga kemaslahatan orang yang sedang aqad, menghindari
jual-beli gharar (terdapat unsur penipuan), dan lain-lain.
Jika jual-beli tidak memenuhi
syarat terjadinya akad, akad tersebut batal. Jika tidak memenuhi syarat sah,
menurut ulama’ Hanafiyah, akad tersebut fasid. Jika tidak memenuhi syarat
nafadz, akad tersebut mauquf dan cenderung boleh, bahkan menurut ulama
malikiyah, cenderung kepada kebolehan. Jika tidak memenuhi syarat lujum, akad
tersebut mukhayyar (pilih-pilih), baik khiar untuk menetapkan
atau membatalkan.
Diantara ulama fiqh berbeda
pendapat dalam menetapkan persyaratan jual-beli. Akan tetapi dalam makalah ini
kami akan lebih banyak membahasnya dalam madzhab Syafi’i, karena memandang
mayoritas kita adalah penganut madzhab Syafi’i.
Ulama
Syafi’iyah mensyaratkan 22 syarat, yang berkaitan dengan aqid, shighat,dan ma’qud
alaih. Persyaratan tersebut adalah:
a. Syarat Aqid
(orang yang akad)
1. Dewasa atau
sadar
Aqid harus baligh
dan berakal, menyadari dan mampu memelihara agarna dan hartanya. Dengan demikian,
akad anak rnumayyiz dipandang belum sah.
2. Tidak dipaksa
atau tanpa hak
3. Islam
Dipandang tidak
sah, orang kafir yang membeli kitab Al-Quran atau kitab-kitab yang berkaitan
dengan agama, seperti hadis, kitab-kitab fiqih, danjuga membeli hambayan
muslim. Hal itu didasarkan antara lain pada firmàn Allah SWT.
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Artinya:
“Dan Allah sekali-kâli tidak
,emberi jalan bagi orang kafir untuk inenghina orang mukmin.”
(QS. An-Nisa’: 141)
4. Pembeli bukan
musuh
Umat Islam
dilarang menjual barang, khususnya senjata, kepada musuh yang akan digunakan
untuk memerangi dan menghancurkan kaum muslimin.
b. Syarat Shighat
1. Berhadap-hadapan.
Pembeli atau penjual harus
rneimnjukkan shighat akadnya kepada orang yang sedang bcrtransaksi dengannya,
yakni harus sesuai dengan orang yang dituju. Dengan denikian, tidak sah
berkata, “Saya menjual kepadamu!” Tidak boleh berkata, “Saya menjual kepada
Ahmad,” padahal nama pembeli bukan Ahmad.
2. Ditujukan pada
seluruh badan yang akad.
Tidak sah mengatakan, “Saya
menjual barang mi kepada kepala atau tangan kamu.”
3. Qabul diucapkan
oleh orang yang dituju dalarn ijab.
Orang yang mengucapkan qabul
haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orang yang mengucapkan ijab,
kecualijika diwakilkan.
4. Harus
menyebutkan barang atau harga .
5. Ketika
mengucapkan shighat harus disertai fiat (maksud).
6. Pengucapan ijab
dan qabul harus sempurna.
Jika seseorang yang sedang
bertransaksi itu gila sebelum mengucapkan qabul, jual-beli yang di lakukannya
batal.
7. Ijab qabul
tidak terpisah.
Antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi oleh waktu
yang terlalu lama, yang menggambarkan adanya penolakan dan salah satu pihak.
8. Antara ijab dan
qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain.
9. Tidak
berubah lafazh.
Lafazh ijab tidak boleh berubah,
seperti perkataan, “Saya jual dengan lima ribu, kemudian berkata lagi, “Saya
menjualnya dengan sepuluh ribu, padahal barang yang dijual masih sama dengan
barang yang pertama dan belum ada qabul.
10. Bersesuaian
antara ijab dan qabul secara sempurna.
11. Tidak dikaitkan
dengan sesuatu .
Akad tidak boleh dikaitkan dengan
sesuatu yang tidak ada hubungan dengan akad.
12. Tidak dikailkan
dengan waktu.
c. Syarat Ma’qud
‘Alaih (Barang)
1. Suci.
2. Berrnanfaat.
3. dapat
diserahkan.
4. barang milik
sendiri atau menjadi wakil orang lain.
5. jelas dan
diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad.
C. Jual-Beli yang Dilarang dalam Islam
Jual beli yang dilarang dalam
Islam sangatlah banyak. Jumhur ulama, sebagaimana disinggung di atas, tidak
membedakan antara fasid dan batal. Dengan kata lain, menurutjumhur ulama,
hukumjual-beli terbagi dua, yaitu jual-beli sahih dan jual-belifasid, sedangkan
menurut ulama Hanafiyah jual beli terbagi tiga, jual-beli sahih, fasid, dan
batal.
Berkenaan dengan jual-beli yang
dilarang dalam Islam, Wahbah Al-Juhalili meringkasnya sebagai berikut.
1. Terlarang Sebab
Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bahwa
jual-beli dikategorikan sahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh,
bcrakal, dapat rnemilih, dan mampu ber—tasharruf secara bebas dan baik. Mereka
yang dipandang tidak sahjual-belinya adalah berikut mi.
a. Jual-beli orang
gila
Ulama fiqih sepakat bahwa jual-beli orang yang gila
tidak sah. Begitu pula sejenisnya, seperti orang mabuk, sakalor, dan lain-lam.
b. Jual-beli anak
kecil
Ulama fiqih sepakat bahwa j
ual-beli anak kecil (belum mumayviz) dipandang tidak sah, kecuali dalam
perkara-perkara yang ringan atau sepele. Menurut ulama Syafriyah, jual beli
anak mumayyiz yang belum baligh, tidak sah sebab tidak ada ahliah.
Adapun mcnurut ulama Malikiyah,
Hanafiyah, dan Hanabilah..jual-beli anak kecil dipandang sahjika diizinkan
walinya. Mereka antara lain beralasan, salah satu cara untuk melatih kedewasaan
adalah dengan memberikan keleluasaan untuk jUal.. beli,juga pengamalan atas
firman Allah SWT.:
......وَابْتَلُوا
الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا
فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Artinya:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka hartanya.”
(QS. An-Nisa’ : 6)
c. Jual-beli orang
buta
Jual-beli orang buta
dikategorikan sahih menurutjumhurjika barang yang dibelinya diberi sifat
(diterangkan sifat-sifatnya). Adapun men urut ulama Syafi’iyah, jual-beli orang
buta itu tidak sah sebab Ia tidak dapat membedakan barang yangjelek dan yang
baik.
d. Jual-beli
terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah,
huktimjual-beli orang terpaksa, sepertijual-beli fudhul (jual-beli tanpa seizin
pemiliknya), yakni ditangguhkan (mauquf).
Oleh karena itu, keabsahannya
ditangguhk an sampai rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama Malikiyah,
tidak lazim, baginya ada khiyar. Adapun men urut ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah,jual-beli tersebut tidak sah sebab tidak ada keridaan ketika akad.
e. Jual-beli
fudhul
Jual-beli fudhul adalah jual-beli
milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah,
jual-beli ditangguhkan sampai ada izin pemilik. Adapun menurut ulama Hanabilah
dan Syafi’iyah,jual bell fudhul tidak sah.
f. Jual-beli orang
yang terhalang
Maksud terhalang di sini adalah
terhalang karena kebodohan, bangkrut, ataupun sakit. Jual-beli orang yang bodoh
yang suka rnenghamburkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah
dan pendapat paling sahth di kalangan Hanabilah, harus ditangguhkan. Adapun
menumt ulama Syaffiyah, jual-beli tersebut tidak sah sebab tidak ada ahli dan
ucapannya dipandang tidak dapat dip egang.Begitu pula ditangguhkan jual-beli
orang yang sedang bangkrut berdasarkan ketetapan hukum, menurut ulama Malikiyah
dan Hanafiyah, sedangkan menurut ulama Syaf?iyah dan Hanabilah, jual beli
tersebut tidak sah.
Menurut jumhur selain Malikiyah,
jual-beli orang sakit parah yang sudah mendekati mati hanya dibolehkan
sepertiga dan hartanya (tirkah), dan bila ingin lebth dan sepertiga, jual-beli
ters ebut ditangguhkan kepada izin ahli warisnya. Menurut ulama Malikiyah,
sepertiga dan hartanya hanya dibolehkan pada harta yang tidak bergerak, seperti
rumah, tanah, dan lam-lain.
g. Jual-beli malja’
Jual-beli malja’ adalah jual-beli
orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dan perbuatan zalirn.
Jual-beli tersebut fàsid, menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut ulama
Hanabilah.
2. Terlarang Sebab
Shighat
Ulama fiqih telah sepakat atas
sahnya jual-beli yang didasarkan pada keridaan di antara pihak yang melakukan
akad, ada kesesuaian di antara ijab dan qabul; berada di satu tempat, dan tidak
terpisah oleh suatu pernisah.
Jual-beli yang tidak memenuhi
ketentuan tersebut dipandang tidak sah. Beberapajual-beli yang dipandang tidak
sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama adalali benikut mi.
a. Jual-beli
mu’athah
Jual-beli niu’athah
adalahjual-beli yang telah disepakati olch pihak akad, berkenaan dengan barang
maupuñ harganya, tetapi tidak rnernakai ijab-qabul. Jurnhur ulama menyatakan
sahih apabila ada ijab dan salah satunya. Begitu pula dibolehkan ijab-qabul
dengan isyarat, pcrbuatàn, atau cara-cara lain yang menunjukkan kerid
Memberikan barang dan menerirna uang dipandang sebagai shighat dengan perbuatan
atau isyarat.
Adapun ulama Syafi’iyah
berpendapat bahwa jual-beli hams disertai ijab-qabul, yakni dengan
shighat lafazh, tidak cukup dengan isyarat, sebab keridaan sifat itu
tersernbunyi dan tidak dapat tidak diketahui, kecuali dengan ucapan. Mereka
hanya memb olehkanjual beli dengan isyarat, bagi orang yang uzur.
Jual-beli al-mu ‘athah dipandang
tidak sah menurut ulama Hanafiyah, tetapi, sebagian ulama Syafi’iyah
membolehkannya, seperti Irnam Nawawi. 28) Menurutnya, hal itu dikembalikan
kepada kebiasaan manusia. Begitu pula Ibn Suraij dan Ar-Ruyani memb olehkamiya
dalam hal-hal kecil.
b. Jual-beli
melalui surat atau melalui utusan
Disepakati ulama fiqih’ bahwa
jual-beli melalui surat atau utUsan adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya
surat atau utusan dan aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi
tempat, akad tersebut dipandang tidak sah, seperti surat tidak sampai ke tangan
yang dimaksud.
c. Jual-heli
dengan isyaral alau tulisan
Disepakati kesahihan akad dengan
isyarat atau tulisan khususnya bagi yang uzur sebab sarna dengan ucapan. Selain
itu, isyarat juga, menunjukkan apa yang ada dalam hati aqid. Apabila isyarat
tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), akad tidak sah.
d. Jual-beli
barang yang tidak ada di tempat akad
Ulama fiqih sepakat bahwa
jual-beli atas barang yang tidak ada di tempat adalah tidak sah sebab tidak
memenuhi syarat in’iqad (terjadinya akad).
e. Jual-beli tidak
bersesuaian antara ijab dan qabul
Hal mi dipandang tidak sah
menurut kesepakatan ulafl1a. Akan tetapi, jika lebih baik, seperti meninggikan
harga, rnenurut ulama Hanafiyah rnembolehkannya, sedangkan ulama Syafi’iyah
rnenganggapnya tidak sah.
f. Jual-beli
munjiz
Jual-beli munjiz adalah yang
dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.
Jual-beli mi, dipandang fasid menurut ulama Hanafiyah, dan batal menurut jumhur
ulama.
3. Terlarang Sebab
Ma ‘qud Alaih (Barang Jualan)
Secara umum, ma’qud alaih adalah
harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut
mabi’(barangjualan) dan harga.
Ulama fiqih sepakat
bahwajual-beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau
bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang
akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dan
syara’.
Selain itu, ada beberapa masalah
yang disepakati oleh sebagian ulama, tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya,
di antaranya berikut ini.
a. Jual-beli benda
yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada.
Jumhur ulama sepakat bahwa
jual-heli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual-beli
barang yang tidak dapal diserahkan.
Jual-beli barang yang tidak dapat
diserahkan, sepertiburung yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak
berdasarkan ketetapan syara’.
c. Jual-beli
gharar
Jual-beli gharar adalah j
ual-beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam sebab
Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya:
“Janganlah kamu membeli ikan di dalam air karena jual-beli seperti itu
termasuk gharar (menipu).”
(HR. Ahmad)
Menurut Ibn Jazi Al-Maliki,
gharar yang dilarang ada 10 (sepuluh) macam:
1. Tidak dapat
diserahkan, seperti nienjual anak hewan Yang masih dalarn kandungan induknya
2. Tidak diketahui
harga dan barang,
3. Tidak diketahui
sifat barang atau harga,
4. Tidak diketahui
ukuran barang dan harga,
5. Tidak diketahui
masayang akan datang, seperti, “Saya jual kepadarnu, jika Jaed datang.”
6. Menghargakan
dua kali pada satu barang,
7. Menjual
barang yang diharapkan selamat,
8. Jual-beli
husha’, misalnya pembeli mernegangtongkat,jika tongkatjatuh wajib membeli.
9. Jual-beli
munabadzah, yaitu jual-beli dengan cara lempar melempari, seperti seseorang
melempar bajunya, kemudian yang lain pun melempar bajunya,
makajadilahjual-beli.
10. Jual-beli
mulasarnah apabila mengusap baju atau k.ain, maka wajib membelinya.
d. Jual-beli
barang yang nujis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang
laranganjual-beli barang yang najis, seperti khamar. Akan tetapi, mereka
berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis (al-mutanajis) yang tidak
mungkin dihilangkan, seperti minyak yang terkena bangkai tikus. Ulama Hanafiyah
membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan ulama Malikiyah
membolehkannya setelah dibersihkan.
e. Jual-beli air
Disepakati bahwajual-beli air
yang dirniliki, seperti air sumUr atau yang disimpan di tempat pemiliknya
dibolehkan o1ehjumhU ulama madzhab empat. Sebaiknya ulama Zhahiriyyah melarang
secara mutlak. Juga disepakati larangan atas jual-beli air yang mubah, yakni
yang semua manusja boleh memanfaatkannya.
f. Jual-beli
barang yang tidak jelas (majhul).
Menurut ulama Hanafiyah,
jual-beli seperti mi adalah fasid, sedangkan menurut jumhur batal sebab akan
mendatangkan pertentaflgafl di antara manusia.
g. Jual- beli
barang yang tidak ada di tempat akad (gaib), tidak dapat dilihat.
Menurut ulama Hanafiyah, jual
beli seperti mi dibolehkan tanpa hams menyebutkan sifat-sifatnya, tetapi
pembeli berhak khiyar ketika melihatnya. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
menyatakan tidak sah, sedangkan ulama Malikiyah membolehk annya bila disebutkan
sifat-sifatnya dan mensyaratkan 5 (lima) macam:
1. Harus jauh
sekali tempatnya,
2. Tidak boleh
dekat sekali tempatnya,
3. Bukan
pemiliknya hams ikut memberikan gambaran,
4. Hams meringkas
sifat-sifat barang secara menyeluruh,
5. Penjual tidak
boleh memberikan sarat.
h. Jual-beli
sesuatu sebelum dipegang
Ulama Hanafiyah melarang
jual-beli barang yang dapat dipindahkan sebelum dipegang, tetapi untuk barang
yang tetap dibolehkan. Sebaliknya, ulama’ Syafiyah melarangnya secara mutlak.
Ulama Malikiyah melarang atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah melarang atas
makanan yang diukur.
i. Jual-beli
buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah,
disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid
menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut Jumhur ulama. Adapun jika buah-buahan
atau tumbuhan itu telah matang, akadnya dibolehkan.
4. Terlarang Sebab
Syara’
Ulama sepakat
membolehkanjual-beli yang memenuhi persyaratafl dan rukunnya. Namun demikian,
ada beberapa masalah yang diperselisthk an di antara para ulama, di antaranya
berikut ini.
a. jual-beli riba
Riba nasiah dan riba fadhl adalah
fasid menurut ulama Hanafiyah, tetapi batal menurut jumhur ulama.
b. Jual-beli dengan
uang dan barang yang diharamkan
Menurut ulama Hanafiyah termasuk
fasid (rusak) dan terjacji akad atas nilainya, sedangkan menurut jumhur ulama
adalah batal sebab ada nash yang jelas dan hadis Bukhari dan Muslim bahwa
Rasulullah SAW. mengharamkan jual-beli khamar, bangkai, anjing, dan patung.
c. Jual-beli
barang dan hasil pencegatan barang
Yakni mencegat pedagang dalam
perjalanannya menuju tempat yang dituju sehingga orang yang mencegatnya akan
mendapatkan keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu makruh
tahrim. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpend apat, pembeli boleh khiyar.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual-beli seperti itu termasuk fasid.
d. Jual-beli waktu
azan Jumat
Yakni bagi laki-laki yang berkewajibanrnelaksaflakafl
shalat Jumat. Menurut ulama Hanaflyab pada waktu azan pertarna, sedangkan
mcnurut ulama Iainnya, azan kctika khatib sudah berada di mimbar. Ulama
HanaIyah mcnghukurninya makruh tahrim, sedangkan ulama Syatiiyah menghukumi
sahih haram. Tidak jadi pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah, dan
tidak sah menurut ulama Hanabilah.
e. Jual-beli
anggur untuk dijadikan khamar
Menurut ulama Hanafiyah dan
Syafi’iyah zahimya sahih, tetapi rnakruh, sedangkan menurut ulama Malikiyah dan
Hanabilah adalah batal.
f. Jual-beli induk
tanpa anaknya yang masih kecil.
Hal itu dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri.
g. Jual-beli
barang yang sedang dibeli oleh orang lain
Seseorang telah sepakat akan
membeli suatu barang, namun masih dalam khiyar kemudian datang orang lain yang
menyuruh untuk rnembatalkannya sebab ia akan membelinya dengan harga lebih
tinggi.
h. Jual-beli
rnemakai syarat
Menurut ulama Hanafiyah, sah jika
syarat tersebut baik, seperti, “Saya akan membeli baju mi dengan syarat bagian
yang rusak dijahit dulu.” Begitu pula menurut ulama Malikiyah memb olehkannyaj
ika berrnanfaat. Menurut ulama Syafi’iyah dibolehkan jika syarat maslahat bagi
salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan menurut ulama Hanabilah,
tidak dibolehkanjika hanya bermanfaat bagi salah satu yang akad.
D. Macam-macam
Jual-Beli
Jual-beli berdasarkan
pertukarannya secara umum dibagi empat macam:
a. Jual-beli saham (pesanan)
Jual-belisaham adalahjual-beli
melalui pesanan, yakni jual-beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang
muka kemudian barangnya diantar belakangan.
b. Jual-beli muqayadhah (barter)
Jual-beli muquyadhah adalah
jual-beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan
sepatu.
c. Jual-beli muthlaq
Jual-beli rnuthlaq adalah
jual-beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukarn,
seperti uang.
d. Jual-beli alat penukar dengan alat penukar.
Jual-beli alat penukar dengan
alat penukar adalah jual-beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar
dengan alat penukar Iainnya, seperti uang perak dengan uang emas.
Berdasarkan segi harga, jual-beli
dibagi pula menjadi empat bagian:
1. Jual-beli yang
menguntungkan (al-murabbahah).
2. Jual-beli yang
tidak rnenguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah).
3. Jual-beli rugi
(al-khasarah).
4. Jual-beli
al-musawah, yaitu penjual rnenyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang
yang akad saling meridai,jual-beli seperti inilah yang berkembang sekarang.
BAB III
SEWA-MENYEWA (IJARAH)
Mempersewakan adalah akad atas
manfaat ( jasa ) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang deketahui,
menurut sayarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian.
A. Dasar Hukum
Sewa Menyewa
Kami katakan
bahwa sewa menyewa itu dibolehkan oleh seluruhfrqahaAnisluir danfuqaha periode
pertama. Tetapi dan al-Asham dan lbnu Aliyah diriwayatkan tentang pelarangan
sewa-menyewa itu. Jumhurul fuqaha berdalil dengan firman Allah:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ
أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ
فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ
عَلَيْكَ
“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan anda dengan salah seorang dan kedua
puteriku mi atas dasar (maskawin) bekerja den ganku selania dela pan tahun, dan
jika kamu men yempurnakan sampai sepuluh tahun, maka itu (‘suatu kebaikan) dan
kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu.”
(QS. al-Qashash: 27)
Dan firman-Nya
فَإِنْ
أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah
kepada mereka upahnya.” (QS. ath-Thalaq: 6)
Dan dalil dan
hadis sahih ialah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Aisyah r.a. Ta berkata:
اسْتَأْجَرَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا مِنْ بَنِي
الدِّيلِ هَادِيًا خِرِّيتًا وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ فَدَفَعَا إِلَيْهِ رَاحِلَتَيْهِمَا ،
وَوَاعَدَاهُ غَارَ ثَوْرٍ بَعْدَ ثَلَاثِ لَيَالٍ بِرَاحِلَتَيْهِمَا
“Rasulullah Saw. dan Abu Bakar men yewa seorang penunjukjalan yang
ahli dan Bani Ad-Dil, sedang orang tersebut memeluk agama orangorang kafir
Quraisy. Kemudian Rasul Saw. dan Abu Bakar mernberiktifl kendaraan kepada orang
tersebut, dan mereka (berdua) berjaflji kepada orang itu untuk bertemu di gua
Tsaur, sesudah berpisah tiga malam den gan membawa kendaraan Nabi Saw. dan Abu
Bakar.” (HR. Bukhari)
Dan hadis Jabir r.a.:
أَنَّهُ بَاعَ
مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعِيرًا وَشَرَطَ ظَهْرَهُ
إِلَى الْمَدِينَةِ
“Sesungguhnya Jabir menjual unta kepada Nabi Saw. dan mensyaratkan menaikinya
sampai ke Madinah.” (HR. Bukhari)
Segala sesuatu
yang pemenuhannya boleh dengan syarat, maka pemenuhannya boleh dengan sewa
menyewa.
Fuqaha yang
melarang sewa menyewa beralasan, bahwa dalam urusan tukar menukar harus terjadi
penyerahan harga dengan penyerahan barang, seperti halnya barang-barang nyata.
Sedang manfaat sewa menyewa pada saat transaksi itu tidak ada. Karena itu, sewa
menyewa merupakan tindak penipuan dan termasuk menjual barang yang belum jadi.
Tentang hal
ini, dapat kami katakan bahwa meski tidak terdapat manfaat pada saat transaksi
akad, pada galibnya manfaat itu akan dapat dipenuhi. Sedang dan beberapa
manfaat tersebut, syarak hanya memperhatikan transaksi yang pada galibnya akan
dapat dipenuhi. Atau adanya keseimbangan antara dapat dipenuhi dan tidak dapat
dipenuhi.
B. Rukun dan
Syarat Sewa-menyewa
1. Ada yang
menyewa dan mempersewakan. Syaratnya adalah :
a. Berakal
b. Kehendak
sendiri(bukan dipaksa)
c. Kedunaya tidak
bersifat mubazir.
d. Balig ( minimal
berumur 15 tahun )
Syarat ini semuanya sama seperti syarat penjual dan pembeli.
2. Sewa.
Disyaratkan keadaannya diketahui dalam beberapa hal :
a. Jenisya .
b. Kadarnya .
c. Sifatnya .
3. Manfaat. Syarat
manfaat :
a. Manfaat yang
berharga. Manfaat yang tidak berharga ada kalanya karena sedukitnya, misalnya
menyewa mangga untuk dicium baunya, sedangkan mangga ini adalah untuk dimakan.
Atau karna ada larangan dari agama, misalnya menyewa seseorang unutuk
membinasakan orang lain.
b. Keadaan manfaat
bia diberikan oleh yang mempersewakan.
c. Diketahui
kadarnya, dengan jangka waktu seperti menyewa rumah satu bulan atau satu tahun
; atau diketahui dengan pekerjaannya, seperti menyewa mobil dari Jakarta
sampai kebogor, atau menjahit satu stel jas. Kalau pekerjaan ini tidak jelas
kecualai dengan beberapa sifat, harus diterangkan semuanaya; membuat dinding
umpamanya, harus diterangkan terbuata dari apa, dari kayu atau dari batu,berapa
panjangnya, berapa pula lebar dan tebalnya.
C. Batalnya Akad Sewa-menyewa
Sewa menyewa ada dua cara :
1. Menyewa barang
yang tertentu , misalnya kuda atau rumah. Masa menyewa habis dengan
matinya kuda, robohya rumah, atau habisnya masa yang janjikan. Sekiranya barang
yang disewa itu dijual oleh orang yang menyewakan, akad sewa meyewa tidak
batal, melainkan diteruskan sampai habisa masanya. Hanya, yang menyewa
hendaklah berhubungan dengan yang membeli rumah itu.
2. Menya barang
yang ada dalam tanggungan seseorang, misalnya mobil yan tidak ditentukan mobil
mana. Maka rusaknya mobil yang diniaki tidak membatalkan akad sewa
menyewanya, tetapi berlaku sampai habis masanya. Yang menyewakan wajib
mengganti dengan mobil yang lain sehingga habis masanya atau sampai ketempat
yang ditentukan. Juga akad sewa menyewa tidak bataldengan matinya orang yang
menyewa atau yang menyewakan, tetapi boleh diteruskan oleh ahli waris
masing-masing.
D. Beberapa Contoh
Persewaan
Ø Persewaan Tanah
Tentang persewaan tanah, para
fuqaha banyak yang berselisih pendapat.Segolongan fliqaha melarangnya
sama sekali, dan mereka adalah golongan yang terkecil. Pendapat mi dikemukakan
oleh Thawus dan Abu Bakar bin Abdurrahman.
Jumhur fiiqalza membolehkannya, tetapi
mereka berselisih mengenai jenis barang yang dipakai untuk menyewa.
Sekelompok fuqaha mengatakan bahwa penyewaan itu hanya
boleh dilakukan dengan uang dirham dan dinar saja. Pendapat mi dikemukakan oleh
Rabi’ah dan Said bin al-Musayyab.
Sekelompok lain mengatakan bahwa penyewaan tanah boleh
dilakukan dengan semua barang kecuali makanan. Baik dari makanan yang tumbuh di
tanah itu atau bukan. juga segala sesuaW yang tumbuh di tanah
itu, baik berupa makanan atau hul(an. lnilah pendapat Malik dan mayoritas para
pengikutnya.
Sekelompok lain lagi mengatakan bahwa penyewaan tanah
boleb dilakukan dengan apa Saja selain makanan.
Fuqaha lain mengatakan bahwa penyewaan
tanah boleh dilakuka dengan barang, makanan, atau yang lain dengan syarat bukan
merupakan bagian dan makanan yang tumbuh di tanah itu. Pendapat mi dikemukakan
oleh Salim bin Abdullah dan sebagian ulama angkatan terdahulu. Tnt juga
merupakan pendapat Syafi’i dan lahir pendapat Malik dalam kitab al-Muwatha’.
Dan fuqaha lain
lagi mengatakan bahwa penyewaan tanah boleh dilakukan dengan segala sesuatu dan
dengan sebagian dan penghasilafl tanah itu. Pendapat mi dikemukakan oleh Ahmad,
ats-Tsauri, al-Laits, Abu Yusuf dan Muhammad dan pengikut Abu Hanifah, serta
Tbnu Abi Laila, al-Auza’i, dan sekelompok fuqaha.
Ø Menyawa pohon
untuk mengambil buahnya
Sebagian ulama berpendapat bahwa
manfaat yang disewa itu hendaklah jangan sampai mengandung lenyapnya
sesuatu yang berupa zat, hanya harus semata-mata manfaat saja. Ulama
berpendapat demikian tidak memperbolehkan menyewa pohon untuk mengambil
buahnya, begitu juga menyewa binatang untuk mengambil bulu dan sebagainya.
Ulama yang lain berpendapat bahwa
tidak ada halangan menyewa pohon-pohon karna buahnya, berlaku seperti menyewa
perempuan unutk meyusukan anak. Sedangkan menyewa seseorang perempuan unutuk
mengambil manfaat susunya, jelas boleh menurut ayat diatas, karena faedahnya
yang diambil dari sesuatu dengan tidak mengurangi pokoknya ( asalnya ) sama
arti dengan manfaat.
Ø Upah
mengajarkan al-quran dan ilmu pengetahuan
Sebagian ulama menperbolehkan
mengambil upah mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan
dengan agama, sekedar untuk memenuhi keperluan hidup, walaupun mengajar itu
memang kewajiban mereka, karna mengaja itu memang memakai waktu yang seharusnya
dapt mereka gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain. Kata Muhammad Rasyid Rida
“ saya telah mendengar dari Syekh Muhammad Abduh. Dia mengatakan guru
yang mendapat gaji dari wakaf, hendaklah mereka mengambil gaji itu, kalau
mereka membutuhkan, dengan tidak disengaja sebagai upah. Dengan cara demikian
mereka akan mendapat ganjaran juga adri Allah ssebagai penyiar agama”.
Ø Persewaan
Muadzin
Mengenai persewaan muadzin,
sebagian ulama’ tidak keberatan terhadapnya, sedang sebagian yang lain
memakruhkannya.
Fuqaha yang memakruhkannya dan
melarangnya mengemukakan hadits yang diriwayatkan dari Utsman bin Abul ‘Ashi.
Ia berkata:
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " اتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا
يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا
“Rasullah Saw.bersabda,
“Ambillah muadzin yang tidak mengbambil upah atas adzannya” (HR.
Tirmidzi dan Nasai).
Sedangkan mereka yang
memperrbolehkan penyewaan muadzin menyamakan perbuatan tersebut dengan
perbuatan-perbuatan yang tidak wajib.
Inilah sebab terjadinya
perselisihan pendapat, yang bertitiktolak dari pertentangan: apakah adzan
termasuk amalan wajib atau bukan?
BAB IV
PINJAM-MEMINJAM
( ‘ARIYAH)
Pembicaraan mengenai ‘ariyah (pinjaman)
mencakup rukun rukun dan hukum-hukum pinjaman. Rukun-rukun pinjaman ada Iima:
peminjaman(al-‘ariyah), orang yang meminjamkan (al-mu’ir), peminjam (al-musta’ir),barang
yang dipinjamkan (al-mu’ar) dan sirighat (ungkapan
pemberian pinjaman).
A. Hukum Memberikan Pinjaman
Memberikan pinjaman adalah
perbuatan yang baik dan dianjurkan. Bahkan sebagian ulama salaf sangat
menekankan hal mi, berdasarkan firman Allah:
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“Dan mereka enggan menolong dengan (meminjamkan) perabot
rumah tangga (atau barang yang berguna).” (QS. al-Ma’un: 7)
rumah tangga (atau barang yang berguna).” (QS. al-Ma’un: 7)
Diriwayatkan dan Abdullah bin
Abbas dan Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa menurut keduanya yang dimaksud
dengan al-ma’un adalah perabot rumah tangga yang lazim
dipinjamkan di antara manusia, seperti pacul, timba, tali, kuali, dan
sebagainya.
B. Orang yang Meminjamkan dan Macam Barang yang Dipinjamkan
Orang yang meminjamkan tidak
dianggap sah kecuali jika barang yang dipinjamkan itu henar-benar menjadi
miliknya, baik terhadap pokok barang itu sendiri maupun manfaatnya. Pendat yang
Iebih kuat adalah bahwa pinjaman itu tidak sah diberjia oleh orang yang
meminjamnya, yakni bahwa ia tidak boleh meminjamkan barang pinjaman tersebut.
Macam pinjaman berlaku untuk
rumah, tanah, hewan, dan semua barang yang diketahui bendanya, bisa dan boleh
diambil manfaatnya. Oleh karena itu, tidak boleh rneminjamkan hamba perempuan
untuk dipakai bersenang-senang, dan makruh pula meminjamkan manfaat kerja budak
tersehut, kecuali jika ia adalah perempuan yang masih mahram baik dengan
peminjam maupun dengan penerima pinjaman.
C. Shighat Pemberian Pinjaman
Ungkapan pemberian pinjaman ialah
setiap kata yang menunjukkan pemberian izin.
Menarik Kembali Barang Pinjaman
Pemberi pinjaman boleh menarik
kembali barang pinjamannya itu. Demikian menurut Syafi’i dan
Abu Hanifah. Yakni orang yang meminjamkan itu boleh mencabut kembali barang
yang dipinjamkan, apabila ia menghendakinya.
Sedang menurut Malik yang
terkenal, ia tidak boleh mencabut kembali sebelum diambil manfaatnya oleh
peminjam. Apabila ia mensyaratkan suatu masa tertentu, maka masa tersebut harus
dipenuhi. Sedang apabila ia tidak mensyaratkan suatu masa tertentu, maka ia
harus memenuhi suatu masa yang oleh orang banyak dianggap pantas untuk pinjaman
tersebut.
Silang pendapat dalam hal ini berpangkal
pada adanya kemiripan antara akad yang mengikat dan akad yang tidak pada
pinjaman.
D . Hukum Pinjam-Meminjam
Hukum pinjam meminjam itu banyak
jumlahnya. Antara lain, apakah pinjaman itu harus ditanggung atau merupakan
amanat?
Menurut sebagian fuqaha, pinjaman
itu harus ditangguflg meskipun ada saksi barang pinjaman itu rusak. Pendapat
ini dikemukakan oleb Asyhab dan Syai’i, juga merrupakan salah satu pendapat
Malik.
Fuqalia yang lain Ler
IuIaIaL s(balikflya, yakni bahwa pinjaman itu tidak ditanggting sama sekali.
Pendapat mi dikemukakan oleh Abu Han i lab.
Sebagian fuqaha ada juga yang berwndapat bahwa barang yang tidak jelas itu harus ditanggung, apabila tidak ada saksi barang itu rusak Dan tidak ada tanggungan terhadap barang yang sudah jelas dan barang yang ada saksi hahwa barang itu rusak. Demikianlah pendapat yang terkenal dan Malik, Ibnul Qasim, dan kebanyakan pengikutnya.
Sebagian fuqaha ada juga yang berwndapat bahwa barang yang tidak jelas itu harus ditanggung, apabila tidak ada saksi barang itu rusak Dan tidak ada tanggungan terhadap barang yang sudah jelas dan barang yang ada saksi hahwa barang itu rusak. Demikianlah pendapat yang terkenal dan Malik, Ibnul Qasim, dan kebanyakan pengikutnya.
Silang pendapat dalam hal mi
berpangkal pada adanya pertentangan antara hadis-hadis yang berkenaan dengan
masalah itu. Yakni bahwa dalam sebuah hadis sahih disebutkan Nabi Saw. bersabda
kepada Shafwan bin Umayyah:
بَلْ عَارِيَةٌ مَضْمُونَةٌ مُؤَدَّاةٌ
“Bahkan ia adalah pinjaman yang harus ditanggung dan
dikembalikan.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
dikembalikan.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dan:
بَلْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ
بَلْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ
“Bahkan Ia adalah pinjarnan yang harus dikenibalikan.”
Tetapi dalam riwayat lain dan Nabi Saw. beliau bersabda:
Tetapi dalam riwayat lain dan Nabi Saw. beliau bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعِيرِ ضَمَانٌ
“Tidak ada tanggungan alas orang yang meminjam.” (HR. Ibnu
Majah)
Karena itu, bagi fuqaha yang
mengambil hadis terakhir dan menguatkannya menghapuskan tanggungan dan
peminjam.
Sebaliknya, bagi fuqalza yang
mengambil hadis Shafwan bm Umayyah mewajibkan tanggungan atas penunjam.
Dalam pada itü, bagifuqaha yang
memilth jalan penggabung memisahkan antara barang yang tidak jelas atasnya
dengan barang yang jelas. Kemudian mereka menerapkan hadis tanggung j kepada
barang yang tidak jelas, dan menerapkan hadis yang lain kepada barang yang
tidak jelas. Hanya saja, hadis Yang menyatakan, “Tidak ada tanggungan
atas orang yang meminjam” adalah hadis yang tidak terkenal, sementara
hadis Shafwan itu sahih.
Sedang fuqaha yang
berpendapat ada tanggungan mempersamakan antara pinjaman dengan titipan.
Sedang fuqaha yang
mengadakan pemisahan menganggap bahwa titipan itu diterima untuk kepentingan
orang yang menyerahkannya, sementara pinjaman adalah untuk kepentingan penerima
barang.
Fuqaha sependapat
bahwa sewa menyewa (al-ijarah) itu tidak ada tanggapan. Mereka
itu adalah Syafi’i, Abu Hanifah, dan Malik.
Jika Syafi’i menerima bahwa dalam
sewa menyewa itu tidak ada tanggungari, maka ia seharusnya mengakui pula bahwa
dalam pinjaman juga tidak ada tanggungan. Sebab fungsi tanggungan itu sebagai
imbalan m(ngambil rnanfaat. Karena bila tidak ada tanggungan terhadap barang
yang diterima untuk kepentingan kedua belah pihak, maka tentu Iebih tidak ada
tanggungan terhadap barang yang diterima untuk kepentingan orang yang
menyerahkan barang, apabila kepentingan orang yang menyerahkan itu berpengaruh
terhadap hapusnya tanggungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahidin, 2007, Pustaka Amani, Jakarta.
Syafi’i Rahmat, Fiqih Muamalah, 2001, Pustaka Setia, Bandung..
Rasjid Sulaiman, fiqh Islam, 1994, Sinar Baru Algensindo,
Bandung.
Sakti Ali, Ekonomi Islam:
Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern, 2007, Paradigma & Aqsha
Publishing
Ibn Hajr Al Hafidz, Bulughul
Al Maram, Thaha Putra, Semarang.