KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah yang maha megetahui dan maha bijaksana yang telah memberi
petunjuk agama yang lurus kepada hamba-Nya dan hanya kepada-Nya. Salawat serta
salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang membimbing umat nya
degan suri tauladan-Nya yang baik .
Syukur
kehadiran Allah SWT yang telah memberikan anugrah, kesempatan dan pemikiran
kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini merupakan
pengetahuan tentang Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia, semua ini di
rangkup dalam makalah ini, agar pemahaman terhadap permasalahan lebih mudah di
pahami dan lebih singkat dan akurat.
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih belum sempurna, untuk menjadi lebih sempurna lagi kami
membutuhkan kritik dan saran dari pihak lain untuk membagikannya kepada kami
demi memperbaiki kekurangan pada makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaaat
bagi siswa-siswi yang ingin memperluas pemahamannya mengenai Penegakan Hak
Asasi Manusia di Indonesia.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
BAB I PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Hak
Asasi Manusia merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya
sebagai anugrah Tuhan. Di dalamnya tidak jarang menimbulkan
gesekan-gesekan antar individu dalam upaya pemenuhan HAM pada dirinya sendiri.
Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM seorang individu
terhadap individu lain, kelompok terhadap individu, ataupun sebaliknya.
Memperbincangkan
marutnya dinamika hak asasi manusia, khususnya perburuhan selama dekade
terakhir nampaknya cukup mengingatkan pada nama ini: Marsinah. Terdapat alasan
pasti untuk menghadirkan kembali ingatan tentang orang tersebut: misteri
kematiannya yang tidak pernah terungkap hingga sekarang. Tidak pernah diketahui
secara pasti oleh siapa ia dianiaya dan dibunuh, kapan dan di mana ia mati pun
tak dapat diketahui dengan jelas, apakah pada Rabu malam 5 Mei 1993 atau
beberapa hari sesudahnya. Liputan pers, pencarian fakta, penyidikan polisi,
pengadilan sekalipun nyatanya belum mampu mengungkap kasusnya secara tuntas dan
memuaskan. Kendati hakim telah memvonis siapa yang bersalah dan dihukum, orang
tak percaya begitu saja; sementara kunci kematiannya tetap gelap sampai kini,
lebih dari satu dasawarsa berselang.
Barangkali
memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang menjadi penting di sini, melainkan
jalinan citra yang lantas tersaji melalui serangkaian representasi media yang
rumit. Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Segenap aktivis
menyanjungnya sebagai teladan kaum pejuang buruh. Para aparat pusat dibantu
aparat setempat konon merekayasa penyidikan sekaligus membuat skenario
pengadilan, termasuk dilibatkannya tersangka palsu dalam rangkaian pengungkapan
kasus tersebut. Tak ketinggalan, para aktivis hak asasi manusia
menganugerahi Yap Thiam Hien Award bagi kegigihannya. Termasuk
para seniman yang mengabadikannya dalam monumen, patung, lukisan, panggaung
teater dan seni rupa instalasi; para feminis mengagungkannya sebagai korban
kekerasan terhadap perempuan dan khalayak awam yang prihatin dan simpati
memberi sumbangan bagi keluarganya.
Pada
aras citra inilah tulisan ini kemudian mengambil pijakan. Mungkin orang tak
akan banyak tahu siapa Marsinah seandainya ia tidak dibunuh dan kasusnya tidak
gencar diberitakan oleh media massa. Ia tidak hanya dianggap mewakili “nasib
malang” jutaan buruh perempuan yang menggantungkan masa depannya pada
pabrik-pabrik padat berupah rendah, berkondisi kerja buruk sekaligus tak
terlindungi hukum. Lebih dari itu, mediasi dan artikulasi pembunuhannya
menyediakan arena diskursif bagi pertarungan berbagai kepentingan dan hubungan
kuasa: buruh-buruh, pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya masyarakat,
birokrasi militer, kepolisian dan sistem peradilan.
Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mulai mengalami
kemajuan dalam bidang penegakan HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen
HAM pun didirikan sebagai upaya menunjang komitmen penegakan HAM yang lebih
optimal. Namun seiring dengan kemajuan ini, pelanggaran HAM kemudian juga
sering terjadi di sekitar kita karena semakin egoisnya manusia dalam pemenuhan
hak masing-masing. Untuk itulah kami menyusun makalah yang berjudul “Kasus
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Indonesia – Marsinah”, untuk memberikan
informasi mengenai apa itu pelanggaran HAM diikuti seluk beluk kasus
Marsinah.
- Rumusan
Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “Kasus Pelanggaran Hak Asasi
Manusia di Indonesia”, maka masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1.2.1 Apa pengertian
pelanggaran HAM ?
1.2.2 Apa
saja macam-macam pelanggaran HAM?
1.2.3 Apa
contoh pelanggaran HAM di Indonesia?
1.2.4
Apa penyebab dan akibat dari kasus pelanggaran HAM?
1.2.5
Bagaimana upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM?
- Tujuan
Tujuan kami mengangkat materi ini tentang kasus hak asasi
manusia di Indonesia yaitu :
1.3.1 Untuk
mengetahui pengertian pelanggaran HAM.
1.3.2
Untuk mengetahui macam-macam pelanggaran HAM.
1.3.3 Untuk mengetahui contoh pelanggaran HAM di
Indonesia.
1.3.4
Untuk mengetahui penyebab dan akibat dari kasus pelanggaran
HAM.
1.3.5 Untuk
mengetahui upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
- Manfaat
Hasil
pembelajaran ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi penulis dan pembaca.
1.4.1 Manfaat bagi
penulis, pengkajian ini memberikan pengetahuan tentang pelanggaran hak asasi
manusia di Indonesia.
1.4.2 Manfaat dari pembaca, pengkajian ini
dapat digunakan sebagai bahan kajian atau referensi tambahan bagi ilmu
kenegaraan serta memperkaya informasi.
BAB
II PEMBAHASAN
Pengertian Pelanggaran Hak Asasi
Manusia
Hak
asasi manusia, setiap manusia lahir pasti memiliki hak ini, hak yang dimiliki
sejak lahir hak manusia untuk berpendapat dan melakukan yang mereka mau atau
dengan kata lain hak kebebasan manusia.
Menurut
Pasal 1 Angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi
manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil
dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Menurut
UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku.
Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan
pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi
negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar
atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.
Klasifikasi Pelanggaran HAM di
Indonesia
Pelanggaran
HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
v Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
- Pembunuhan massal (genosida)
Genosida
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan
cara melakukan tindakan
kekerasan.
(UUD No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM).
- Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan
kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk
secara paksa, pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.
v Kasus pelanggaran HAM yang bersifat ringan, meliputi :
- Pemukulan
- Penganiayaan
- Pencemaran nama baik
- Menghalangi orang untuk
mengekspresikan pendapatnya
- Menghilangkan
nyawa orang lain
Contoh Pelanggaran Hak Asasi Manusia
di Indonesia
1. Kasus Marsinah (1993)
(Pelanggaran HAM Berat)
Kasus
tersebut berawal dari unjuk rasa buruh yang dipicu surat edaran gubernur
setempat mengenai penaikan UMR. Namun PT. CPS, perusahaan tempat Marsinah
bekerja memilih bergeming. Kondisi ini memicu geram para buruh.
Senin
3 Mei 1993, sebagian besar karyawan PT. CPS berunjuk rasa dengan mogok kerja
hingga esok hari. Ternyata menjelang selasa siang, manajemen perusahaan dan
pekerja berdialog dan menyepakati perjanjian. Intinya mengenai pengabulan
permintaan karyawan dengan membayar upah sesuai UMR. Sampai di sini sepertinya
permasalahan antara perusahaan dan pekerja telah beres.
Namun
esoknya 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik
Militer (Kodim) Sidoarjo untuk diminta mengundurkan diri dari CPS. Marsinah
marah dan tidak terima, ia berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut ke
pengadilan. Beberapa hari kemudian, Marsinah dikabarkan tewas secara tidak wajar.
Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk
tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi melintang
dengan kondisi sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda keras, kedua
pergelangannya lecet-lecet, tulang panggul hancur karena pukulan benda keras
berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercak-bercak darah, diduga karena
penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang sama menempel kain putih
yang berlumuran darah.
Secara
resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika
menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan
motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi
dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di
pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya
yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding
ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses
selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan
para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI
tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga
muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus kematian Marsinah menjadi misteri selama
bertahun-tahun hingga akhirnya kasusnya kadaluarsa tepat tahun ini, tahun 2014.
Mereka yang tertuduh dan dijadikan kambing hitam dalam kasus ini pun akhirnya
dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Di zaman Orde Baru, atas nama stabilitas
keamanan dan politik, Negara telah berubah wujud menjadi sosok yang
menyeramkan, siap menculik, mengintimidasi dan bahkan menghilangkan secara
paksa siapa saja yang berani berteriak atas nama kebebasan menyuarakan aspirasi.
Faktor Penyebab Kasus Marsinah
Faktor
penyebab dari kasus Marsinah yang pertama adalah perusahaan CPS yang tidak
mengikuti himbauan gubernur setempat untuk menaikkan UMR. Walaupun kebijakan
kenaikan UMR tersebut sudah dikeluarkan, CPS tetap bergeming. Kondisi ini
memicu geram para pekerjanya sehingga menyebabkan mereka melakukan aksi unjuk
rasa dan mogok kerja.
Lalu
faktor penyebab kedua, adalah manajemen perusahaan CPS yang telah menyepakati
perjanjian penaikan UMR namun rupanya diikuti dengan memberhentikan 13
pekerjanya dengan cara mencari-cari kesalahan pasca tuntutan kenaikan UMR. Hal
ini menjadikan Marsinah penuh amarah.
Fakor
yang lain dapat diuraikan sebagai berikut :
Dari
segi ekonomi :
- Terjadi kredit macet
- Jatuhnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar
- Banyak perusahaan yang tidak
dapat membayar hutangnya
Dari
segi politik :
- Pemimpian saat itu telah
kehilangan kepercayaan dari rakyatnya
- Terjadi kekacauan dan kerusuhan
di mana-mana
- Terjadi perpecahan dalam kubu
kabinet Soeharto
Dasar Hukum
/ Pasal Pada Undang Undang Yang Dilanggar
A. Dasar
Negara Pancasila sila ke 2 “Kemanusiaan yang adil dan beradap"
B. UUD 1945
pasal 27(3)
“ Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan Negara”.
Makna yang terkandung : setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara serta wajib untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara, membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti:
- Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling)
- Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri
- Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau pkn
Makna yang terkandung : setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara serta wajib untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara, membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti:
- Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling)
- Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri
- Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau pkn
- Selalu menaati dan melaksanakan
peraturan
C. Isi
dari pasal 30 ayat 4 UUD 1945
“Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan
ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum.”
ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum.”
D. Tap
MPR No.XVII/MPR/1998 PASAL1
“Menugaskan kepada Lembaga-lembaga
Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan
dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh
masyarakat.”
E. UU
NO. 39 th 1999 pasal 9 – 66
Salah satunya pasal 9
1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
2.
Setiap
orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
3.
Setiap
orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Yang
Terlibat Dalam Kasus Marsinah
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu
Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim
dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik
Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap
secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala
Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan
fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian
diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa
mengaku telah membuat control dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap
Dua orang yang terlibat dalam otopsi
pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazahRSUD Nganjuk)
dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD
Dr.Sutomo,Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan
berat.Marsinah memperoleh Penghargaan yap thiem hien pada tahun yang sama.Kasus
ini menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus
1773.
Hukuman Bagi Pelanggar Kasus
Marsinah
Setelah penyelidik menangkap 10 petinggi PT CPS dan mereka diidentifikasi Baru 18 hari kemudian,
akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan
terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap
adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh
Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah
menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap
Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut
adalah Anggota TNI.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis
17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar
empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi
Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi,
Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan
(bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan
ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus
ini adalah “direkayasa”.
Dampak Adanya Kasus Marsinah
Rekayasa kasus marsinah, adanya banyak kecaman dari berbagai pihak. Kasus Marsinah
seharusnya menjadi salah satu cermin bagi Indonesi.Betapa hokum dapat dibeli
oleh para penguasa .Sementara kasus marsinah sudah tenggelam selama hampir 20
tahun,tapi pembunuhnya entah kemana.Untuk menghindari kasus-kasus seperti ini
terjadi lagi,seharusnya ada tindakan khusus dari pemerintah untuk memberikan
efek jera pada pelaku.
Solusi Terhadap Kasus Marsinah
Terkait
kasus Marsinah, solusi dari pemerintah sendiri, pemerintah semestinya segera
mengusut tuntas kasus pembunuhan Marsinah sampai selesai hingga mendapatkan
hasil yang nyata, dan menegakkan tiang keadilan dan ketegasan dalam kerapuhan
hukum di Indonesia sehingga rakyat dapat kembali mempercayai peranan dari
pemerintah dan aparat penegak hukum dalam penegakan HAM di Indonesia.
Sementara solusi dari hasil rangkuman kami sekelompok,
adalah adanya kepastian hukum dalam menjamin keamanan setiap orang. Setiap
orang perlu menghargai hak-haknya sendiri dan hak orang lain.
2. Bullying (Pelanggaran HAM Ringan)
Definisi bullying merupakan
sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Bullying berasal dari
kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu
orang yang lemah. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali
dipakai masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di
antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan,
atau intimidasi (Susanti, 2006).
Barbara
Coloroso (2003:44) : “Bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara
sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui
ancaman agresi dan menimbulkan terror. Termasuk juga tindakan yang direncanakan
maupun yang spontan bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, dihadapan
seseorang atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau
terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok
anak.
Dari berbagai definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa bullying merupakan serangan berulang secara
fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal, yang dilakukan dalam posisi kekuatan
yang secara situasional didefinisikan untuk keuntungan atau kepuasan mereka
sendiri. Bullying merupakan bentuk awal dari perilaku agresif yaitu
tingkah laku yang kasar. Bisa secara fisik, psikis, melalui kata-kata, ataupun
kombinasi dari ketiganya. Hal itu bisa dilakukan oleh kelompok atau individu.
Pelaku mengambil keuntungan dari orang lain yang dilihatnya mudah diserang.
Tindakannya bisa dengan mengejek nama, korban diganggu atau diasingkan dan
dapat merugikan korban.
Jenis – Jenis Tindakan Bullying
Barbara
Coloroso (2006:47-50) membagi jenis-jenis bullying kedalam
empat jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Bullying secara
verbal; perilaku ini dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah,
kritikan kejam, penghinaan, pernyataan-pernyataan yang bernuansa ajakan seksual
atau pelecehan seksual, terror, surat-surat yang mengintimidasi,
tuduhan-tuduhan yang tidak benar kasak-kusuk yang keji dan keliru, gosip dan
sebagainya. Dari ketiga jenis bullying, bullying dalam bentuk
verbal adalah salah satu jenis yang paling mudah dilakukan dan bullying bentuk
verbal akan menjadi awal dari perilaku bullying yang lainnya
serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih lanjut.
2. Bullying secara
fisik; yang termasuk dalam jenis ini ialah memukuli, menendang,
menampar, mencekik, menggigit, mencakar, meludahi, dan merusak serta
menghancurkan barang-barang milik anak yang tertindas. Kendati bullying jenis
ini adalah yang paling tampak dan mudah untuk diidentifikasi, namun
kejadian bullying secara fisik tidak sebanyak bullying dalam
bentuk lain. Remaja yang secara teratur melakukan bullying dalam
bentuk fisik kerap merupakan remaja yang paling bermasalah dan cenderung akan
beralih pada tindakan-tindakan kriminal yang lebih lanjut.
3. Bullying secara
relasional; adalah pelemahan harga diri korban secara sistematis
melalui pengabaian, pengucilan atau penghindaran. Perilaku ini dapat mencakup
sikap-sikap yang tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata,
helaan nafas, cibiran, tawa mengejek dan bahasa tubuh yang mengejek. Bullying
dalam bentuk ini cenderung perilaku bullying yang paling sulit dideteksi dari
luar. Bullying secara relasional mencapai puncak kekuatannya diawal masa
remaja, karena saat itu tejadi perubahan fisik, mental emosional dan seksual
remaja. Ini adalah saat ketika remaja mencoba untuk mengetahui diri mereka dan
menyesuaikan diri dengan teman sebaya.
4. Bullying elektronik; merupakan
bentuk perilaku bullying yang dilakukan pelakunya melalui
sarana elektronik seperti komputer, handphone, internet, website, chatting
room, e-mail, SMS dan sebagainya. Biasanya ditujukan untuk meneror korban
dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman video atau film yang
sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan. Bullying jenis
ini biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki pemahaman cukup
baik terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya.
Pada
umumnya, anak laki-laki lebih banyak menggunakan bullying secara
fisik dan anak wanita banyak menggunakan bullying relasional/emosional,
namun keduanya sama-sama menggunakan bullying verbal.
Perbedaan ini, lebih berkaitan dengan pola sosialisasi yang terjadi antara anak
laki-laki dan perempuan (Coloroso, 2006:51).
Faktor Penyebab Bullying
Bullying dapat terjadi dimana saja, di perkotaan, pedesaan, sekolah
negeri, sekolah swasta, di waktu sekolah maupun di luar waktu sekolah. Bullying
terjadi karena interaksi dari berbagai faktor yang dapat berasal dari pelaku,
korban, dan lingkungan dimana bullying tersebut terjadi.
Pada umumnya, anak-anak korban bullying memiliki
salah satu atau beberapa faktor resiko berikut:
- Dianggap “berbeda”, misalnya
memiliki ciri fisik tertentu yang mencolok seperti lebih kurus, gemuk,
tinggi, atau pendek dibandingkan dengan yang lain, berbeda dalam status
ekonomi, memiliki hobi yang tidak lazim, atau menjadi siswa/siswi baru.
- Dianggap lemah atau tidak dapat
membela dirinya.
- Memiliki rasa percaya diri yang
rendah.
- Kurang populer dibandingkan
dengan yang lain, tidak memiliki banyak teman.
Sedangkan untuk pelaku bullying, Ada beberapa
karakteristik anak yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk menjadi pelaku
bullying, yaitu mereka yang:
- Peduli dengan popularitas,
memiliki banyak teman, dan senang menjadi pemimpin diantara
teman-temannya. Mereka dapat berasal dari keluarga yang berkecukupan,
memiliki rasa percaya diri tinggi, dan memiliki prestasi bagus di sekolah.
Biasanya mereka melakukan bullying untuk meningkatkan status dan
popularitas di antara teman-teman mereka.
- Pernah
menjadi korban bullying. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan
diterima dalam pergaulan, kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah,
mudah terbawa emosi, merasa kesepian dan mengalami depresi.
- Memiliki
rasa percaya diri yang rendah, atau mudah dipengaruhi oleh teman-temannya.
Mereka dapat menjadi pelaku bullying karena mengikuti perilaku
teman-teman mereka yang melakukan bullying, baik secara sadar
maupun tidak sadar.
Dalam penelitian Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, (2005)
alasan seseorang melakukan bullying adalah karena korban mempunyai
persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena
dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan
kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan,
mendapatkan kepuasan (menurut korban laki – laki ), dan iri hati (menurut
korban perempuan). Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi
korban bullying karena penampilan yang menyolok, tidak berperilaku dengan
sesuai, perilaku dianggap tidak sopan, dan tradisi.
Menurut psikolog Seto Mulyadi, Bullying disebabkan karena
:
1. Menurutnya, saat ini remaja di
Indonesia penuh dengan tekanan. Terutama yang datang dari sekolah akibat
kurikulum yang padat dan teknik pengajaran yang terlalu kaku. Sehingga sulit
bagi remaja untuk menyalurkan bakat nonakademisnya Penyalurannya dengan
kejahilan-kejahilan dan menyiksa.
2. Budaya feodalisme yang masih
kental di masyarakat juga dapat menjadi salah satu penyebab bullying sebagai
wujudnya adalah timbul budaya senioritas, yang bawah harus nurut sama yang
atas.
Dasar Hukum
/ Pasal Pada Undang Undang Yang Dilanggar
Melihat dari bagaimana bullying itu
dilakukan, maka Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) telah mengatur bahwa setiap Orang
dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut
serta melakukan Kekerasan terhadap Anak. Bagi yang melanggarnya akan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah) [lihat Pasal 80
ayat (1) UU 35/2014].
Pasal 80 UU 35/2014:
(1) Setiap
Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam
hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam
hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana
ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Jika bullying ini dilakukan
di lingkungan pendidikan, maka kita perlu melihat juga Pasal 54 UU 35/2014 yang
berbunyi:
(1) Anak di dalam dan
di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak
kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang
dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau
pihak lain.
(2) Perlindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
Ini artinya, sudah sepatutnya
peserta didik di sekolah mendapatkan perlindungan dari perilaku bully yang
berupa tindak kekerasan fisik maupun psikis.
Apabila bullying itu
dilakukan pada masa diselenggarakannya perpeloncoan di sekolah atau yang
dikenal dengan nama Masa Orientasi Sekolah (MOS), dasar hukum yang mengaturnya
adalah Surat Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Nomor 1383/C.C4/MN/2010 tentang Pelaksanaan MOS yang antara lain mengatakan
bahwa agar kegiatan MOS berjalan sesaui dengan yang diharapkan dan tidak
terjadi bias, seperti adanya bullying, perpeloncoan, pemalakan, dan
hal-hal negatif lainnya; maka seluruh kegiatan MOS dilaksanakan, dibimbing, dan
diawasi guru.
Dampak Adanya Bullying
Bullying
memiliki berbagai dampak negatif yang dapat dirasakan oleh semua pihak yang
terlibat di dalamnya, baik pelaku, korban, ataupun orang-orang yang menyaksikan
tindakan bullying.
Dampak
bagi korban
Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention
Resource Center Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa bullying
dapat membuat remaja merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi
belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying
berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem siswa,
meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan
remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman. Dalam kasus
yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan
bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide).
Coloroso (2006) mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa
korban secara berulang-ulang. Konsekuensi bullying bagi para korban, yaitu
korban akan merasa depresi dan marah, Ia marah terhadap dirinya sendiri,
terhadap pelaku bullying, terhadap orang-orang di sekitarnya dan terhadap orang
dewasa yang tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut kemudan mulai
mempengaruhi prestasi akademiknya. Berhubung tidak mampu lagi muncul dengan
cara-cara yang konstruktif untuk mengontrol hidupnya, ia mungkin akan mundur
lebih jauh lagi ke dalam pengasingan.
Terkait dengan konsekuensi bullying,
penelitian Banks (1993, dalam Northwest Regional Educational Laboratory, 2001;
dan dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa perilaku bullying berkontribusi
terhadap rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya prestasi akademik siswa,
rendahnya self-esteem, tingginya depresi, tingginya kenakalan remaja dan
kejahatan orang dewasa. Dampak negatif bullying juga tampak pada penurunan skor
tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis siswa. Berbagai penelitian juga
menunjukkan hubungan antara bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi.
Dampak
bagi pelaku
Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) National Youth Violence
Prevention mengemukakan bahwa pada umumnya, para pelaku ini memiliki rasa
percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula, cenderung bersifat
agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan, tipikal orang berwatak keras,
mudah marah dan impulsif, toleransi yang rendah terhadap frustasi. Para pelaku
bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan kurang
berempati terhadap targetnya. Apa yang diungkapkan tersebut sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Coloroso (2006:72) mengungkapkan bahwa siswa akan terperangkap
dalam peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat,
kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta
menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola
hubungan sosialnya di masa yang akan datang.
Dengan melakukan bullying, pelaku
akan beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika
dibiarkan terus-menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat
menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan
perilaku kriminal lainnya.
Dampak
bagi siswa lain yang menyaksikan bullying (bystanders)
Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka para siswa
lain yang menjadi penonton dapat berasumsi bahwa bullying adalah perilaku yang
diterima secara sosial. Dalam kondisi ini, beberapa siswa mungkin akan
bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran berikutnya dan beberapa
lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun dan yang paling
parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.
Solusi Terhadap Bullying
Dalam rangka mencegah bullying,
banyak pihak telah menjalankan program dan kampanye anti bullying di
sekolah-sekolah, baik dari pihak sekolah sendiri, maupun organisasi-organisasi
lain yang berhubungan dengan anak. Lalu apakah yang dapat kita –sebagai
perorangan- lakukan untuk memerangi bullying?
1. Membantu anak-anak mengetahui dan
memahami bullying
2. Memberi saran mengenai cara-cara
menghadapi bullying
3. Membangun hubungan dan komunikasi
dua arah dengan anak
4. Mendorong mereka untuk tidak
menjadi “saksi bisu” dalam kasus bullying
5. Membantu anak menemukan minat dan
potensi mereka
6. Memberi teladan lewat sikap dan
perilaku
Apabila kita ingin ikut serta dalam memerangi bullying,
hal paling sederhana yang dapat kita lakukan adalah dengan tidak melakukan bullying
atau hal-hal lain yang mirip dengan bullying. Disadari maupun tidak,
orang dewasa juga dapat menjadi korban ataupun pelaku bullying, misalnya
dengan melakukan bullying di tempat kerja, ataupun melakukan kekerasan
verbal terhadap orang-orang di sekitar kita.
Upaya
Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia
1)
Periode tahun 1945 – 1950 Di periode ini, pemikiran HAM masih menekankan pada
hak merdeka, hak bebas berserikat, serta hak bebas menyampaikan pendapat.
Pemikiran HAM telah mendapat pengakuan secara formal karena telah memperoleh
pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara, yaitu UUD 1945. Komitmen
terhadap HAM pada periode awal kerdekaan ditunjullam dalam Maklumat Pemerintah
tanggal 1 November 1945. Di periode ini (1945-1950) memberikan keleluasaan
terhadap rakyat untuk mendirikan partai politik sebagaimana yang telah tertera pada
Maklumat Pemerintah pada tanggal 3 November 1945 :
- Pemerintah menyukai timbulnya
partai-partai politik karena segala aliran paham yang ada dalam masyarakat
dapat dipimpin ke jalan yang teratur dengan adanya partai-partai tersebut.
- Pemerintah berharap partai-partai
itu telah tersusun sebelum dilangsukannya pemilihan anggota badan
perwakilan rakyat pada Januari 1946. Hal ini berkaitan dengan adanya
perubahan yang signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensial
menjadi sistem parlementer.
2)
Periode tahun 1950 – 1959 Periode ini dalam perjalanan, Indonesia dikenal
dengan sebutan “Periode Demokrasi Parlementer” dimana pemikiran HAM pada
periode ini mendapatkan momentum yang membanggakan. Indikator tentang pemikiran
HAM pada periode ini mengalami “pasang”, menurut ahli hukum tata negara
memiliki 5 aspek :
- Semakin
banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya
masing-masing.
- Kebebasan
pers sebagai salah satu pilar demokrasi, betul- betul menikmati
kebebasannya.
- Pemilu
sebagai pilar lain dari demokrasi harus bertanggung jawab dalam suasana
kebebasan, fair (adil) dan demokratis.
- Parlemen/dewan
perwakilan rakyat sebagai wakil rakyat semakin efektif mengontrol
terhadapt kinerja eksekutif.
- Wacana
& pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif, sejalan
dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
3)
Periode tahun 1959 – 1966 Pada periode ini, sistem pemerintahan Indonesia adala
sistem demokrasi terpimpin diamana kekuasaan terpusat dan berada di tangan
presiden. Dalam kaitannya dengan HAM yaitu telah terjadinya sikap restriktif
(pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga
negara.
4)
Periode tahun 1966 – 1998 Pada awal masa periode ini telah diadakan beberapa
seminar tentang HAM. Salah satu seminar dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, Komisi,
dan pengadilan HAM di wilayah Asia. Pada tahun 1968 diadakan Seminar Hukum
Nasional II yang merekomendasikan perlunya hak uji materiil guna melindungi
HAM. Fungsi dari hak uji materiil itu sendiri dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS
XIV/MPRS/1996. Namun, pada tahun 1970-an sampai akhir 1980-an, HAM mengalami
kemunduran. Dalam hal ini, upaya masyarakat dilakukan melalui pembentukan jaringan
dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti
kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, dan lain sebagainya.
Menjelang periode 1990-an, upaya masyarakat nampaknya memperoleh hasil yang
mengesankan karena terjadi pergeseran strategi pemerintahan, dari Represif dan
Defensif menjadi Akomodatif. Salah sau sikap akomodatif pemerintah terhadap
tuntutan penegakan HAM yaitu dibentuknya KOMNAS HAM berdasarkan KEPRES Nomor 50
tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993, dimana KOMNAS HAM memiliki tugas:
- Memantau & menyelidiki
pelaksanaan HAM & memberi saran serta pendapat kepada pemerintah
perihal HAM.
- Membantu pengembangan
kondisi-kondisi yang kodusif bagi pelaksanaan HAM sesuai pancasila dan UUD
1945 (termasuk hasil amandemen UUD NKRI 1945), Piagam PBB, Deklarasi
Universal HAM dan deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang terkait
dengan penegakan HAM.
5)
Periode tahun 1998 – sekarang Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap
beberapa kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dnegan
pemajuan dan perlindungan HAM. Kemudian, dilakukan penyusunan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan
ketatanegaraan dan kemasyarakatan di indonesia, serta pengkajian dan ratifikasi
terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Strategi pada
periode ini dilakukan melalui 2 tahap, yaitu:
- Tahap
status penentuan (prescriptive Status) Pada tahap ini telah ditetapkan
beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM, seperti UUD 1945, TAP
MPR, UU, dan peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan
lainnya.
- Tahap
penataan aturan secara konsisten ( rule consistent behavior ) Ditandai
dengan pemghormatan dan pemajuan HAM dengan dikeluarkannya TAP MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya sejumlah konvensi HAM. Selain
itu juga dirancangkan program “Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM)” pada
tanggal 15 Agustus 1998 yang didasarkan kepada :
- Persiapan
pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM
- Desiminasi
informasi dan pendidikan tentang HAM 3. Penentuan skala prioritas
pelaksanaan HAM 4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM
yang telah diratifikasikan melalui perundang-undangan nasional. Untuk
lebih melindungi HAM di Indonesia, pemerintah telah membuat UU HAM No. 39
tahun 1999 serta UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Melalui
keputusan Presiden No. 40 tahun 2004, Pemerintah telah mengesahlan RANHAM
kedua diamana merupakan kelanjutan RANHAM Indonesia yang pertama tahun
1998-2003. RANHAM disusun untuk menjamin peningkatan penghormatan,
pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM di Indinesia dengan
mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan budaya bangsa
indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang
dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai
keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa
jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara
HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk
pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu
instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM,
pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM
sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM. Sementara menyangkut
Kasus Marsinah yang merupakan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat,
karena merupakan kasus penghilangan seseorang secara paksa. Marsinah adalah
tumbal dari apa yang namanya penindasan atas nama stabilitas keamanan dan
politik pada zaman Orde Baru. Penindasan kepada Marsinah adalah bentuk
ketakutan negara pada sosok-sosok yang berani berjuang dan mengobarkan semangat
kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan. Negara menciptakan teror ketakutan
kepada siapa saja yang ingin melakukan aksi perlawanan. Negara juga telah
mengabaikan kasus ini, membiarkannya menjadi misteri yang tak terpecahkan
selama bertahun-bertahun. Ini jelas sebuah anomali dan paradoks jika kita
komparasikan dengan tujuan pembentukan dan kewajiban negara ini. Marsinah
hanyalah satu dari ribuan potret buruh perempuan di Indonesia yang seringkali
harus dihadapkan dengan berbagai persoalan pelik yang mendasar. persoalan
kesejahteraan, kekerasan,eksploitasi dan diskriminasi seolah terus menjadi
pekerjaan rumah yang menumpuk bagi pemerintah untuk diselesaikan. Realitas
kekinian memperlihatkan bahwa sampai hari ini begitu banyak buruh perempuan di
Indonesia yang masih ambil bagian dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah
tangga. Menguak kasus Marsinah berarti harus mengurai banyak benang kusut,
benang kusut yang mungkin hanya dapat terurai dari tangan mereka yang
benar-benar peduli untuk mengurainya.
Bullying adalah
suatu contoh kasus pelanggaran HAM ringan yang dilakukan secara berulang-ulang
dimana tindakan tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melukai dan
membuat seseorang merasa tidak nyaman. Pemahaman moral adalah pemahaman
individu yang menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan dan
bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik
atau buruk. Pemahaman moral bukan tentang apa yang baik atau buruk, tetapi
tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah
baik atau buruk. Peserta didik dengan pemahaman moral yang tinggi akan
memikirkan dahulu perbuatan yang akan dilakukan sehingga tidak akan melakukan
menyakiti atau melakukan bullying kepada temannya. Selain itu, keberhasilan
remaja dalam proses pembentukan kepribadian yang wajar dan pembentukan
kematangan diri membuat mereka mampu menghadapi berbagai tantangan dan dalam
kehidupannya saat ini dan juga di masa mendatang. Untuk itu mereka seharusnya
mendapatkan asuhan dan pendidikan yang menunjang untuk perkembangannya.
3.2 Saran
Sebagai
makhluk sosial kita selayaknya mampu mempertahankan dan memperjuangkan hak kita
sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga hak orang
lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM
kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain. Sudah saatnya pemerintah
membuka mata lebar-lebar akan kasus Marsinah dan kasus-kasus yang dialami oleh
buruh saat ini. Pemerintah sebaiknya berani membuka ulang kasus Marsinah atas
nama demokrasi dan HAM. Hilang dan matinya Marsinah sudah barang tentu adalah
sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak pernah
menemui titik terang. Padahal keadilan yang tertinggi adalah keadilan terhadap
Hak Asasi Manusia.
DAFTAR
PUSTAKA