TUGAS BAHASA INDONESIA
KUMPULAN CERPEN KARYA PRIBADI
KELOMPOK
1 :
NUGRAH PRATAMA
ISWAN IZZULHAQ
MUH. WAHYU APRIANSYAH
DAVID WONG
KELAS : XI MIA 2
SMA NEGERI 1 SUNGGUMINASA
TAHUN AJARAN 2016/2017
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, segala puji dan
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat Rahmat dan Hidayah-Nya
sehingga kami mampu menyelesaikan tugas “Kumpulan
Cerpen Karya Pribadi” sebagai salah satu tugas mata pelajaran Bahasa
Indonesia.
Dalam penyusunan tugas ini, kami
mendapat bimbingan dan arahan serta petunjuk dari ibu guru. Oleh karenanya,
sepantasnya kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dra.
Muliati Tutu, selaku salah satu guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Sungguinasa
Kab. Gowa.
Akhirnya tiada satu kata yang kami
dapat berikan sebagai imbalan selain mengucapkan terima kasih dan kami berharap
semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Dengan segala
kesederhanaan tulisan ini, kami tetap mengharapkan saran dan kritik demi
menyempurnakan tugas ini.
Wassalamu
Alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh.
Sungguminasa,
9 September 2016
Kelompok
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
KUMPULAN CERPEN KARYA PRIBADI
…………………………………………….. 1
A. Pelangi di Ujung Senja (Nugrah Pratama) ……................................................. 1
B. Secercah Cahaya Yang Kembali Redup (Iswan Izzulhaq) ............................... 6
C. Kenangan Putih Biru Tua Menuju Putih Abu-Abu (Muh. Wahyu Apriansyah) .. 13
D. Protagonis Kehidupan (David Wong) .............................................................. 17
A. Pelangi di Ujung Senja (Nugrah Pratama) ……................................................. 1
B. Secercah Cahaya Yang Kembali Redup (Iswan Izzulhaq) ............................... 6
C. Kenangan Putih Biru Tua Menuju Putih Abu-Abu (Muh. Wahyu Apriansyah) .. 13
D. Protagonis Kehidupan (David Wong) .............................................................. 17
KUMPULAN CERPEN KARYA PRIBADI
1. Pelangi di Ujung Senja
Nugrah Pratama
Ketika senyuman mentari
menyambut datangnya hari dan suara kokokan ayam telah mengakhiri malam yang
kelam, nampak seorang pemuda berseragam putih abu-abu memulai hari dengan
sepeda butut peninggalan ayahnya. Hanya sepeda itulah yang dapat dipakainya
untuk pergi ke sekolah. Jarak demi jarak ia lewati dengan kayuhan kakinya.
Remaja itu sama sekali tak terlihat mengeluh oleh keadaan yang dialaminya.
Terkadang ia sering diejek temannya. Sedih itu sudah pasti tertanam di hatinya,
namun ia tahu posisi sang ibu kini sangatlah tak memungkinkan dirinya untuk
meminta sesuatu. Ia lebih memilih untuk menahan rasa sedihnya sendiri dibanding
harus melihat kesengsaraan ibunya bertambah lagi.
Setiap bel pulang
terdengar, Andi bergegas mengayuh sepeda tua kesayangannya untuk menemui sang
ibu di sawah. Sesampainya di sawah, ia langsung menggantikan posisi ibunya
membajak sawah. Sembari menunggu pekerjaannya diselesaikan oleh anaknya, beliau
duduk di bawah pohon rindang. Terkadang sang ibu kasihan kepada anaknya, namun
harus bagaimana lagi. Jika Andi tahu bahwa ibunya sedang bekerja di sawah, ia
tidak akan membiarkan ibunya tersebut kewalahan.
Tak lama kemudian,
setelah Andi selesai membantu sang ibu, ibu memanggil untuk menyuruhnya makan.
Walau hanya ditemani oleh lauk tahu, tempe dan kecap pun mereka masih dapat
bersenda gurau bersama. Setelah makanan yang dibawa habis, ibu mengajak Andi
pulang, dengan mengendarai sepeda, sang ibu duduk di belakang sambil membawa
cangkul dan rantang nasi.
Sepuluh menit kemudian, akhirnya
mereka tiba. Andi membantu ibunya membereskan alat bertani milik ibu yang penuh
lumpur. Dengan tidak sengaja, Andi melihat kaki ibunya yang terluka. Sontak
saja Andi terkejut dan terlihat khawatir, walau luka di kaki sang ibu hanyalah
luka kecil. “Kaki emak kenapa?” tanya Andi sambil meraba kaki ibunya. “Ini cuma
luka kecil kok” jawab ibunya sambil menutupi lukanya. “Tunggu sebentar mak,
Andi ambil obat dulu” ucap Andi. Ia berlari kesana-kemari mencari obat yang
dimaksud. Setelah obat telah ditemukan, ia segera menghampiri sang ibu dan
menyuruh beliau untuk duduk di kursi. Diusapnya kaki sang ibu dengan perlahan.
Sembari mengobati kaki sang ibu, Andi memberitahukan bahwa ia ingin sekali
mengikuti tes robotik di sekolahnya. Siswa dengan robot yang terbaik itulah
yang akan mewakili sekolahnya. Sang ibu mengizinkan anaknya. Andi menampilkan
ekspresi raut wajah gembira.
Ketika hari tes tiba,
semua bahan-bahan dengan cepat disulapnya menjadi sebuah mahakarya yang jarang
terpikirkan di otak teman-temannya. Sebuah tangan robot pemetik buah telah
diciptakannya. Guru-guru sangat memuji hasil karya Andi dan memutuskan untuk
mengirimnya menjadi salah satu peserta yang akan mewakili sekolahnya. Dengan
ekspresi muka gembira, ia mengucapkan terimakasih kepada guru-gurunya. Saat bel
pulang yang ditunggu-tunggunya telah tiba, dengan gesit ia menemui sang ibu dan
menceritakan apa yang dialaminya tadi. “Emak, Andi terpilih sebagai peserta
lomba untuk mewakili sekolah. Do’akan saja ya mak, semoga Andi dapat
memenangkan lomba” teriak Andi sambil berlari menuju ibunya. Sang ibu hanya
tersenyum sembari menepuk pundak anaknya. Dengan giat ia berlatih dan mencoba
segala sesuatu yang belum diketahuinya.
Satu minggu kemudian,
kini saatnya ia membuktikan kemampuannya pada dewan juri. Dirancangnya sekian
banyak bahan dan dirakit menjadi satu. Ia harus teliti dan cermat, apabila ia
ingin menyabet juara satu. Setelah sekian lama Andi menguras waktu, akhirnya
karyanya dapat diselesaikan. Saat mendengar komentar juri, Andi terkejut sekali,
lantaran hasil karya tersebut tidak memenuhi kriteria. Juri berkata padanya
bahwa hasil karya yang Andi hasilkan sudah sangat umum. Mendengar komentar
pedas dari para juri telah membuatnya kecewa.
Selepas mengikuti lomba,
ia pulang dengan raut wajah kecewa. Melihat mimik muka yang tak wajar dimiliki
oleh anaknya, sang ibu bertanya keheranan “Andi, kenapa? Bagaimana lomba
kamu?”. Andi menjelaskannya perlahan “Andi tadi didiskualifikasi. Juri
menyangka bahwa hasil karyaku ialah hasil menyontek. Karena sebelum aku
mengumpulkan karyaku, ada siswa dari sekolah lain yang telah mengumpulkan
karyanya terlebih dahulu sebelum aku. Sudahlah mak, mungkin ini semua sudah
takdir Andi. Selepas ini, mungkin Andi harus lebih giat lagi untuk berlatih”.
Sang ibu merangkul tubuh Andi dan mengusap kepalanya untuk menenangkan hati
anaknya yang terlanjur kecewa.
Hari demi hari kejadian
itu masih saja teringat dalam memori Andi. Sampai akhirnya ia mulai menciptakan
hal yang terpikir dalam otaknya. Sebuah mobil pengangkut bertenaga surya telah
dibuatnya. Dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk membuatnya. Sebuah mobil
ciptaannya akan diberikan untuk petani di desa. Dengan harapan bahwa mobil
tersebut dapat membantu mengangkut hasil panen para petani di desa itu. Namun
apa yang terjadi tidak sesuai keinginan. Ada beberapa warga yang beranggapan
bahwa mobil tersebut dapat mematikan mata pencaharian sebagian warga di desa
tersebut. Andi bingung harus menjelaskan bagaimana lagi kepada warga bahwa ia
menciptakan mobil pengangkut itu hanya sekedar untuk membantu saja. Sebagian
warga tetap menolak penjelasan yang diberikan Andi. Kali ini, Andi benar-benar
bingung. Ia menceritakan tentang musibah yang dialaminya kepada sang ibu. Yah,
hanya ibunyalah satu-satunya orang yang dapat menjadi tempat curahan hatinya.
Dengan saran sang ibu,
kini Andi telah mengetahui apa yang harus ia katakan pada warga desa yang
menolak penjelasannya. Dengan bantuan perangkat desa, ia mengumpulkan semua
warga desa dan menjelaskan cara memakai mobil pengangkut yang benar. “Bapak/Ibu
saya mohon perhatiannya. Saya menciptakan mobil pengangkut ini memang sengaja
untuk meringankan pekerjaan Anda sekalian. Saya tahu bahwa sebagian dari kalian
menolak alat tersebut dengan beralasan memutus mata pencaharian anda semua sebagai
petani pengangkut beras. Saya akan memberitahukan pada kalian bahwa alat ini
dapat digunakan seperlunya saja. Alat ini bisa digunakan apabila ada salah satu
dari kita yang tidak dapat mencari nafkah setiap waktu. Saya berharap bahwa
Bapak/Ibu dapat mengerti penjelasan saya”. Dengan penjelasan yang cukup panjang
itulah yang dapat membuat warga desa mengerti.
Suatu sore, saat cahaya
senja mulai memudar, ada seorang laki-laki yang mendatangi rumah Andi.
Laki-laki itu berkata bahwa saat ini, Andi sedang ditunggu oleh orang penting
di rumah kepala desa. Dengan penuh rasa penasaran, ia meminta izin kepada
ibunya dan segera menuju rumah kepala desa. Saat Andi baru saja memasuki rumah
kepala desa sambil mengucapkan salam, ia dikejutkan oleh kedatangan Bupati. Ia
duduk tepat di samping Pak Bupati. Bupati itu berkata bahwa beliau datang ke
desa lantaran akan memberi penghargaan, beasiswa kuliah dan uang tunai untuk
Andi atas mahakaryanya. Kali ini Andi benar-benar bahagia sekali.
Cukup lama Andi berada
di rumah kepala desa, akhirnya ia mohon pamit pamit menuju rumah. Dengan
mudahnya Andi membuka pintu rumah yang tak terkunci. Ia mencari-cari sang ibu,
karena ia ingin memberikan kabar gembira. Ekspresi wajah yang mulanya tersenyum
lebar, kini berubah menjadi rasa kekhawatiran. Dari tadi ia mencari-cari
ibunya, namun tak ditemukan. “Dimana emak?” pikirnya dalam hati. Dengan tak
sengaja, Andi melihat sang ibu terjatuh pingsan di dapur. Andi berteriak keras
sambil mencari pertolongan. Banyak warga datang dan membantunya untuk membawa
sang ibu menuju rumah sakit.
Dengan lemas sang ibu
tergeletak di atas peraduan. Sedih yang dialami Andi tak kunjung sirna. Ia
terus menampakkan mimik muka kekhawatiran. Andi melangkah menuju kamar ibunya.
Seakan-akan sang ibu mendengar suara jejak kaki anaknya, ia tersadar. Dengan
penuh rasa khawatir ia bertanya “Emak, kenapa?”. “Mungkin Emak hanya kecapaian.
Maklum, Emak sudah tua” jawab ibunya dengan nada yang terbata-bata. “Emak
jangan bilang begitu. Mau muda atau tua, Emak tetap malaikat Andi” ucap Andi.
“Subhanallah, Emak bahagia punya anak seperti kamu” balasnya. Air mata haru
mulai menetes di pipi sang ibu.
Setiap hari, dengan
sabar Andi menemani sang ibu di rumah sakit. Ia menyuapi ibunya seperti ibunya
menyuapinya ketika kecil. Seketik itu, dokter dan perawat masuk ke kamar sang
ibu untuk mengecek keadaan beliau. Saat dokter akan pergi, beliau meminta Andi
untuk ikut bersamanya. Dokter mengajak Andi ke ruangannya. Di dalam ruangan
itu, dokter menjelaskan tentang penyakit yang diidap sang ibu selama ini “Nak
Andi, mohon maaf sekali, kami telah berusaha sekuat tenaga. Namun saat ini anda
harus banyak berdoa karena keadaan ibu anda tidak memunginkan dirinya untuk
sembuh total”. “Maksud anda dok? Penyakit ibu saya sudah tidak bisa disembuhkan?”
tanya Andi dengan panik. “Ibu anda menderita penyakit Leukimia. Dan penyakit
yang diidap beliau telah sampai stadium akhir” jelas dokter. “Kenapa dokter
baru katakan sekarang?” tanya Andi. “Sebenarnya saya ingin memberitahu anda,
namun sebelum itu, ibu anda telah berkata pada saya bahwa beliau melarang saya
untuk memberitahu anda tentang penyakitnya. Saya rasa ibu anda tidak ingin
melihat anaknya sedih. Maafkan saya” jawab dokter. “Lalu ibu saya bisa bertahan
berapa lama kira-kira dok?” tanya Andi kembali. “Mungkin sekitar seminggu”
jawab dokter. Mendengar semua penjelasan yang dilontarkan dokter kepadanya,
Andi merasa sedih sekali. Mulai saat itu, ia semakin rajin merawat sang ibu,
walau akhirnya ia tahu bahwa sang ibu akan pergi tuk selama-lamanya.
Saat malam tiba, sang
ibu mengucapkan selamat malam untuk Andi. Andi menjawab perkataan ibu. Ia
memeluk sang ibu dengan erat seakan-akan ia tak merelakan ibunya pergi
kemana-mana. Sang ibu berkata dalam pelukan anaknya “Jika kamu sukses nanti,
kamu tidak boleh sombong dan lupa diri. Ingat, kamu dulu seperti mereka. Kamu
juga jangan tinggalkan ibadahmu. Karena ibadahmulah yang dapat membawamu dan
ibu ke surga” ucap ibunya. Andi hanya membalas dengan raut wajah kesedihan.
Seketika itu pula tubuh sang ibu mulai lemah. Andi cepat-cepat memanggil
dokter. Setelah dokter memeriksa ibunya, ia berkata “Mungkin ini sudah
waktunya”. Andi membantah perkataan dokter “Tidak dok, ibu saya pasti kuat”.
Sang ibu merintih kesakitan sambil berkata “Kamu harus ingat dengan pesan yang
disampaikan ibu tadi. Emak pamit”. “Emak ikutin kata Andi ya. Laa ilaaha
illallah”. Dengan nada yang sangat kecil sambil merintih kesakitan dan akhirnya
ibunya pun pergi. Andi mengusap semua air matanya. Ia memeluk jasad sang ibu
dengan genggaman erat. Mau tak mau, ia harus merelakan ibunya pergi. Andi
mencoba mengikhlaskan kepergian sang ibu walau terasa sedih di hati. Ia sangat
meyakini bahwa memang raga ibu kini tak bersamanya, namun kenangan sang ibu
masih terekam jelas dalam memorinya.
Dulu, setiap hari Andi
lalui bersama ibunya. Namun kini, ia harus bisa hidup tanpa sang ibu. Setelah
lulus dari SMA dengan nilai yang tinggi, ia meneruskan pendidikannya di
Universitas. Karena beasiswa dari Bupati, akhirnya ia dapat melanjutkan
pendidikan sampai menjadi sarjana. Walaupun di acara wisudanya sang ibu tak
ada, tetapi ia tetap bahagia, karena ia yakin bahwa kini ibunya sedang
memperhatikannya dari surga.
*** TAMAT ***
2. Secercah Cahaya Yang Kembali Redup
Iswan Izzulhaq
Roda kehidupan tak segan-segan
menampakkan pedihnya, ia hanya terus berputar memperlihatkan misteri hidup.
Hidup yang bahkan benar-benar penuh dengan tanda tanya. “Kenapa dengan aku?
kenapa aku seperti ini? bagaimana hal ini terjadi padaku? dan mengapa harus aku
yang berada di posisi seperti ini?” sungguh tak bisa kuterima, hidup yang
bahkan benar-benar aku benci, hidup bagaikan berjalan tanpa cahaya, suram dan
gelap.
Inilah aku, seorang siswa yang kini
sedang menginjak kelas 11 di SMAN 24 Harapan Bangsa. Remi Prasetyawan, ya
itulah namaku. Yang dalam keseharianku biasa dipanggil Rem. Aku tergolong orang
yang bisa membeli apa saja dengan uang, itu karena kelahiranku di keluarga yang
cukup berada. Ayah yang seorang Direktur Bank, dan Ibu yang seorang Dosen. Apa
yang terlintas dipikiran kalian ketika mengetahui hal itu? 90% mungkin mengira
hidupku sangat sangat beruntung, tapi bagiku tidak. Hidup ini jauh sangat tidak
adil.
Ingin rasanya menjadi seperti awan,
bebas pergi kemanapun ia mau, ataupun menjadi bintang yang selalu menampakkan
kilauannya, membuat orang lain merasa damai jika memandangnya. Ya itulah hoby
ku, memandang awan di siang hari dan memandang bintang di malam hari. Seperti
malam ini, bintang yang cukup membuat suasana hatiku tenang. Hampir saja aku
terlelap, hingga akhirnya kudengar suara yang sangat tak asing.
“Mas
Rem...., makan malam udah siap”
“Iya
bi’, tunggu sebentar”
Dialah bi’ mimi, pembantu di rumah
yang bahkan aku lebih banyak menghabiskan waktu dengannya dibanding kedua orang
tuaku yang entah apa dilakukannya di luar sana. Pekerjaan? Okelah...., tapi apa
harus ia tidak punya waktu untuk kedua putranya. Ingin rasanya kembali ke masa
lalu, saat dimana semuanya masih terasa nyaman bersama keluarga yang begitu
harmonis. Tapi itu dulu, jauh sebelum hal seperti ini terjadi.
Brukkk.....
Hal
itu ia lakukan lagi, sampai kapan anak itu akan berhenti. Oh ya dia adalah
kakakku, sekarang sedang mengabdi di tahun pertamanya di Universitas. Orang
yang selalu menyenggolku jika bertemu. Bukan hal yang mustahil memang jika
kakak beradik saling bertengkar. Tapi lain cerita dengan persaudaraanku ini.
Benar-benar tak ada kata apalagi raut wajah, bagaikan orang yang berlalu lalang
di keramaian. Saling menyambar, saling melewati. Itulah aku dan Ram kakakku,
Rama Prasetyawan lebih tepatnya. Saling tak kenal, itulah prinsip kami dimana
pun berada. Sungguh menyedihkan bukan? Berada ditengah-tengah keluarga yang
seperti ini.
Jika
pilihan untuk terlahir kembali itu ada. Maka lebih baik aku berada di keluarga
yang apa adanya. Sederhana tak apa buatku, karena yang kuinginkan hanyalah
kenyaman, kehamonisan keluarga, waktu dengan ayah ibu, serta candaan yang
mengisi hari-hari kami. Tapi sekali lagi, itu hanyalah angan-angan yang tak
bisa tercapai. Ibarat menunggu kapal laut di bandara.
Pagi ini kembali ku lakukan
aktifitasku. Ke sekolah dengan mengendarai sepeda motor berwarna biru dengan
corak hiu yang kubuat sendiri, dialah yang selalu menemaniku kemanapun aku
pergi. Sepertia biasa aku pergi ke sekolah lebih awal dengan 1001 alasan, salah
satunya ialah kemuakanku mendengar ayah dan ibu beradu mulut. Hampir setiap
hari ia melakukan aktifitas itu, entah apa yang mereka pertengkarkan. Aku hanya
benci melihat urusan orang dewasa yang tak berujung. Bukan hanya aku, Ram
kakakku juga sangat membenci hal itu. Kadang ia tak pulang ke rumah dan hanya
menginap di rumah temannya. Bagiku dan bagi kakakku, menghilang pun tak ada
artinya bagi orang tua kami. Kepedulian mereka entah sejak kapan habis.
Di sekolah aku termasuk murid yang
cukup pandai, bukan sombong atau membanggakan diri. Tapi kuakui diriku yang
sebenarnya. Semua kebencian dan resah gelisahku di rumah aku lampiaskan di
sekolah. Sombong dan jutek, ya itulah aku versi sekolah. Berbeda memang jika
dibandingkan dengan diriku di rumah, aku seperti manusia dengan kepribadian
ganda, jadi jangan heran akan hal itu.
Sekolahku termasuk sekolah ternama
di kotaku. Bagaimana tidak, semua yang sekolah disini adalah anak anak manusia
dari keluarga yang cukup berada sampai keluarga yang bergelimang harta. Jadi
tak heran jika 50% dari siswa siswi disini membawa mobil sebagai kendaraannya.
Yahh walaupun demikian, aku termasuk orang yang tidak terlalu memperdulikan
perihal kekayaan. Bagiku semua sama saja, tanpa kerukunan semua serasa hampa.
Di sekolah ini ada dua kelompok yang
sering beradu argumen bahkan fisik. Mereka bak air dan minyak. Tak bisa
disatukan bagaimanapun caranya. Kelompok pertama ialah orang dengan kecerdasan
di atas rata-rata. 5 orang dengan nilai tertinggi di antara semua siswa akan
dimasukkan kedalam kelompok ini. Kebayang kan bagaimana hebatnya anggota dari
kelompok ini. Mereka adalah Chelsea Meirin, Argeby Jerina, Remi Prasetyawan,
Vana Elfrea, dan Dion Pulumbara. Yapp benar, aku adalah bagian dari mereka.
Tapi jangan salah, ke lima orang-orang ini bisa saja tersingkirkan oleh orang
lain. Dengan kata lain kita hanya perlu mempertahankan mahkota yang diraih agar
tidak jatuh ketangan orang lain. Kelompok ini diberi julukan sebagai kelompok
“Clev”, yang merupakan singakatan dari clever (pandai). Kelompok kedua bernama
“Stup” dan singkatan dari kata stupid (bodoh). Dari namanya sendiri mungkin
kalian sudah tau segerombolan orang-orang ini. Mereka adalah timbal balik dari
kelompok Clev. Stup sendiri berisi 5 siswa dengan nilai terendah di sekolah.
Mereka dikumpulkan dan diberi pendidikan tambahan setiap pulang sekolah. Saat
ini orang yang menempati posisi tersebut adalah Wirayudha Pratama, Cici Arlian,
Bimo kusuma, Ulfa Yusani dan Gion Pulumbara. Merekalah penghuni kelompok dengan
kapasitas otak yang tidak dipergunakan baik.
Jrengg...
jreng... jrengg...
Bunyi
bel pertanda pulang telah tiba. Antusias siswa untuk kembali ke rumahnya
bagaikan air yang menjalar begitu cepat. Namun tidak untuk sekelompok anggota
Clev. Keseharian mereka sepulang sekolah adalah berkumpul untuk membahas
pelajarannya pada hari itu. Tak heran memang jika mereka berada di posisi itu.
Krekk...
Baru
saja Dion membuka pintu istana mereka, tapi yang didapatnya adalah bongkahan
benda yang berhamburan kesana kemari. Sontak mereka semua kaget dengan ruangan
tempat tahta mereka. Tempat yang tiap harinya bersih dan rapi, sekarang menjadi
gudang yang tak terurus. Baik tembok dan papan tulis, semuanya penuh dengan
cakaran omongan tak senonoh.
Chelsea
: “Siapa yang melakukan iniii.......”
Geby :
“Oh... grr.. ini pasti ulah trio kucing liar itu”
Vana : “Ehh
Geby, mereka berlima bukan bertiga”
Geby :
“Nahh itu maksud gue”
Dion :
“Anak itu benar-benar menggali kuburannya sendiri. Tunggu disini, biar aku
yang selesaikan”
Dion adalah manusia paling kejam di
antara kami. Dia tak segan-segan melayangkan tinjunya kepada siapa saja yang
mencari masalah dengan anak clev. Dan sejauh ini, kelompok stup adalah
segerombolan anak manusia yang tak pernah tau kata jera. Mereka memang selalu mancari
masalah dengan kami.
Rem :
“Ion.. on.. Dion tunggu.., mendingan kita selesaikan dengan cara baik-baik
saja”
Dion :
“Hantaman gue aja belum cukup buat mereka. Apalagi dengan cara baik-baik”
Rem :
“Tapi Doni, jangan sampai orang tua kita dipanggil lagi karena masalah yang
terus sama seperti ini”
Vana :
“Sudahlah Rem, lagian emang mereka yang salah kan”
Chelsea
: “Mendingan kita langsung ke gubuk mereka”
Okee...
sepertinya kata-kataku dihiraukan oleh mereka. Bukannya tidak marah, tapi aku
adalah orang yang paling risih dengan kata panggilan orang tua. Kalian taulah
kondisi keluargaku bagaimana. Dan sepertinya sebentar lagi perang dunia akan
kembali berlanjut.
Brukk......
(dengan kasarnya Doni menendang pintu tempat kelompok stup berada)
Dion :
“Hey manusia rendah...”
Gion :
“Manusia rendah katamu? Otak pandai dengan sifat sombong sepertimu bahkan lebih
rendah dari kami.”
Hanya
dalam hitungan detik, ke sepuluh orang-orang ini terlibat dalam perkelahian tak
berujung. Hajar menghajar, jambak menjambak terus kami lakukan tanpa henti.
Hingga akhirnya terdengar suara pluit dari salah seorang guru. Seketika suasana
menjadi hening dengan posisi kami yang bervariasi.
“Kalian
semua ikut ke ruang BK”
Dan
sekarang saatnya hari penghakiman bagi orang-orang yang hanya bisa membuat
masalah seperti kami. Yang memulai semuanya memang anggota kelompok Stup, tapi
apa daya jika takdir memang berkata bahwa kelompok clev harus ikut andil dalam
masalah ini. Di ruang BK, kami saling beradu argumen, saling berdebat memperebutkan
posisi yang benar.
“Kami
tidak akan menghancurkan ruangan kalian jika kalian tidak memutuskan arus
listrik di ruangan kami”. Ucap Cici, salah seorang anggota Stup.
“Dan
kami tidak akan memutuskan arus listrik kalian jika kalian tidak mengambil barang
kami tanpa seizin dari kami”. Balas Chelsea.
Wira :
“Ehh tanya tuh temen kamu Geby, udah jelas-jelas kami dibolehin sama dia.”
Geby : “Iya emang benar. Tapi itukan kalian
sendiri yang bilang kalau kalian sudah meminta izin ke Chelsea, Rem, Vana dan
Dion.”
“Sudahh..
sudah..., intinya kalian semua harus diberi hukuman. Dan mulai besok kalian
semua berada di ruangan yang sama. Kalian gunakan ruangan yang ada disebelah
ini. Dan jika kalian membuat keonaran lagi, maka panggilan orang tua adalah
jalan satu-satunya untuk kalian.” Kata pak guru BK.
Semua rasa dan akal bercampur baur,
sontak kami semua tak bisa berbuat apa-apa selain menerima perkataan guru tadi.
Risih emang, lagian siapa juga yang mau satu ruangan dengan orang seperti
kelompok stup. Yang ada mereka akan membawa pengaruh buruk untuk kita
kedepannya. Tapi apa daya, mau tak mau, terima tak terima. Kita semua harus
mengikuti perintah pak guru. Dan mulai besok semua kegiatan kami harus
disaksikan oleh mereka yang tak suka belajar itu. Dan konsentrasi kami pun
bakal ambruk oleh tingkah mereka. Satu lagi, Dion dan Gion adalah saudara
kembar dengan otak berbanding terbalik. Namun mempunyai sifat keras kepala yang
sama, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
Baik di sekolah maupun di rumah,
entah kenapa kesialan selalu tertuju padaku. Apa mungkin aku hidup hanya untuk
untuk mendapat sial? Kalau begitu lebih baik aku memilih menghilang dari dunia
bodoh ini. Tapi entah mengapa suasana hatiku jauh lebih baik sejak saat
digabungkan bersama anak-anak pemalas itu.
Hari demi hari, seiring dengan
denting jarum jam yang terus berputar. Di sekolah, Clev dan Stup, kelompok yang
dulunya bagaikan air dan minyak. Kini mulai bisa beradaptasi. Yahh... walaupun
di awal mereka berada dalam satu ruangan, semuanya begitu ricuh tak terkendali.
Gaduh setiap hari, berselisih menjadi makanan kami setiap saat, pertikain
dimana-mana, yang pada akhirnya hukuman menjadi jalan akhir dari bentrokan
kami. Masih untung tak ada panggilan orang tua. Mungkin ada baiknya juga kita disatukan,
karena makin kesini makin terlihat adaptasi dari masing-masing anggota. Dihukum
bersama-sama membersihkan lingkungan sekolah, dijemur dibawah terik matahari
bukan hal aneh lagi bagi kami. Bahkan siswa yang lain pun menimbulkan seribu
pertanyaan. Mereka semua merasa aneh, mengapa kelompok Clev yang dikenal rajin
dan arif bisa bersanding dengan kelompok stup yang sangat jelas perbedaan dari
keduanya. Seiring kebersamaan kami, muncullah rasa solidaritas dari
masing-masing anggota. Dion dan Gion kini tak lagi saling menghantam. Chelsea
dan Cici yang memang sejak masuk SMA mulai bersahabat, namun renggang akibat
perbedaan volume otaknya, tetapi kini telah merajut kembali bekas-bekas
persahabatan mereka dulu. Bahkan Geby dan Wira yang Ehmm..., kini mereka sedang
dilanda asmara seorang remaja. Hahaha... benar-benar sebuah kejutan bukan. Sang
waktu kembali lagi dengan rahasia barunya. Akupun perlahan mengalami perubahan,
kegelapan yang dulunya aku lalui kini menampakkan secercah cahaya kecil.
Pertanda bahwa kebahagiaan itu berada disana.
Perlahan tapi pasti, 2 kelompok yang
terkenal dengan pertarungan sengitnya kini mulai membuka kisah baru, melahirkan
cerita-cerita dahsyat layaknya story dari seorang remaja. Sekarang kita semua
berada dalam satu ikatan yang sulit dileburkan. Perbedaan memang hal yang
menarik. Yang jika kalian sadari, disparitas akan membawa warna tersendiri
untuk menciptakan masa-masa yang sulit kalian lenyapkan. Dan inilah yang kami
rasakan sekarang, berada di tengah-tengah kisah anak remaja dengan penuh
nostalgia.
Kehadiran mereka dihidupku
benar-benar sangat berarti. Merekalah yang memperlihatkan kepadaku bahwa ada
setitik cahaya dalam hidupku. Membuatku ingin menemukan jati diriku dalam
keluarga. Ya.. keluarga, entah mengapa aku masih sanga risih mendengar kata
itu. Perasaan riang ku hanya sebatas untuk di sekolah saja. Jika kembali ke
rumah, entah kenapa semua kembali pudar. Seperti yang ku katakan sebelumnya,
diriku ibarat orang dengan 2 kepribadian. Ketika kutempatkan diriku di rumah,
perasaan muak ini kembali menghantui. Seakan berbisik, memerintahkanku untuk
menjauh dari sanak keluarga. Mungkin hal ini juga dirasakan oleh Ram kakakku,
walaupun kami tak saling bicara. Tapi kami memiliki perasaan yang sama,
sama-sama saling menyayangi. Namun ego dan gengsi menjadi penghalang dari
keinginan kami untuk bersatu kembali.
Ayah dan Ibu. Aku benar-benar tidak
mengerti dengan pola pikir mereka yang kekanak-kanakan. Apanya yang dewasa?
Mereka berdua ibarat anak-anak yang hanya bisa bertengkar. Saling menggunjing,
saling menuduh berselingkuh, ahhh..... telingaku benar-benar tidak tahan lagi
dengan cemohan keduanya. Ku langkahkan kaki keluar kamar menuju tempat mereka
beradu. Namun sesaat pandangan ku menjadi tak karuan, dunia bagaikan mesin yang
berputar. Dadaku benar-benar teramat sakit
Brukkk.....
Kurasakan
diriku jatuh, jatuh dipangkuan sang kakak. Yahh diriku masih tersadar walau
yang kurasakan lemah tak berdaya. Masih sempat kudengar suara kak Ram berseru
meminta pertolongan, masih sempat kudengar isak tangis dari mama, dan masih
sempat kudengar kata-kata penyesalan papa selama ini. lalu... pandanganku
benar-benar gelap, sangat gelap.
***
Perlahan ku kedipkan mataku, membuka
sedikit demi sedikit kelopak mata yang begitu kaku untuk ku gerakkan ini. Dan
sesaat aku memandang, mencari tahu aku sedang dimana. Hingga kurasakan tangan
lembut menggenggamku erat, kucoba melihat lebih jelas. Dan ternyata dia adalah
ibu, ibu yang selama ini kurindukan belaiannya. Yang saat ini sedang mencoba menyampaikan
sesuatu lewat isak tangisnya. Kuperhatikan disamping ibu juga ada ayah. Dalam
hati aku berbisik, Ya Tuhan.. telah lama aku meginginkan saat ini, telah lama
aku menunggu moment ini. Saat dimana ayah dan ibu berdampingan tanpa ada
pertikaian. Dan baru aku sadari, ternyata aku sedang terbaring lemah di rumah
sakit. Sesaat kemudian tak dapat ku bendung lagi, rasa kantuk itu kembali
menyertaiku.
Berhari-hari telah berlalu, dan aku
masih berada di rumah sakit. Teman-temanku sendiri sudah beberapa kali datang
menjengukku. Entah penyakit apa yang ku derita. Namun kini keadaanku sudah jauh
lebih baik, bahkan kata ibu aku bisa pulang hari ini.
Setelah dua hari berada di rumah,
suasana yang dulu hilang kini muncul kembali. Setitik cahaya yang kulihat dulu
kini mulai terbuka lebar. Perasaanku mulai membaik, ayah dan ibu kini tak lagi
bertengkar dan menghabiskan waktunya lebih banyak denganku. Senang rasanya bisa
kembali merasakan suasana yang telah lama aku rindukan ini. Namun, selama
berada di rumah, tak pernah sekalipun ku lihat Ram berkeliaran. Kucoba untuk
bertanya pada ayah dan ibu. Dan mereka menjawab bahwa Ram kini mempunyai rumah
baru. Ibu pun mengajakku untuk pergi berkunjung ke rumah baru kak Ram. Katanya
kak Ram pasti sangat merindukanku. Aku pun tidak sabar lagi ingin memeluk anak
itu. Aku yakin hubunganku dengan kakakku juga akan membaik.
Setelah lama perjalanan, akhirnya
kita sampai juga. Namun yang membuatku heran adalah ayah dan ibu malah
membawaku ke tempat pemakaman. Katanya ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan.
Selang beberapa saat kaki ku melanggkah. Aku terhenti, kaki ku kaku,
pandanganku runtuh, hatiku hancur bak retakan kaca. Apa semua ini? apa maksud
dari ini semua? Kucoba untuk melihat lebih dekat. Dan ternyata......
“Ibu
jahatt..... Papa jahat....., kenapa kalian semua menyembunyikan ini dariku.
Kenapa hanya aku yang tak tahu akan hal ini. kenapa kalian begitu jahat
mengatakan bahwa ini adalah rumah baru kak Ram.., kenapa ma.... kenapa....?
kenapa kalian tidak memberitahuku sejak awal kalau kak Ram sudah meninggal...”
Sontak aku menjadi tak terkendali,
isak tangisku benar-benar tidak dapat aku tahan lagi. Air mataku bercucuran
mengetahui fakta kalau kak Ram sudah meninggal, aku benar-benar tak bisa
menerima hal ini. Namun apa daya jika takdir berkata lain, dunia benar-benar
jahat. Merenggut kembali kebahagiaan yang sudah ku temukan. Sedih, marah,
kecewa, putus asa, semua yang kurasakan bercampur baur. Aku tidak lagi dapat
berkata apa-apa.
*** TAMAT ***
3. Kenangan Putih Biru Tua Menuju Putih Abu-Abu
Muh. Wahyu Apriansyah
Pada pagi
hari di awal musim panas ini hembusan angin yang menyentuh tubuhku yang hangat
ini, memandang ke langit biru betapa bahagianya aku masih bisa menghirup udara
segar disekitarku, mendengar kicauan burung di atas pohon itu. Pagi ini adalah
hari pertama sekolah menengah pertamaku di SMPN 1 Sungguminasa dan aku telah
menjadi salah satu siswa disana, aku sangat bangga bisa menjadi siswa SMPN 1
Sungguminasa. Aku berangkat bersama dengan kedua orang tuaku disaat aku turun
ayahku berkata “Belajar dengan baik ya nak, jangan bermain pada saat guru
menjelaskan”, “iya ayah” kataku. Aku pun menuju kelas baruku dengan senyuman
yang terpampang pada wajahku ini, menyapa teman-temanku pada masa yang masih
anak ingusan itu hehe…eh maksudnya masa sekolah dasar dulu, pada saat pencarian
kelas aku bingung aku berada di kelas yang mana , ternyata dalam kelasku ini
aku sekelas dengan temanku yang biasa dipanggilnya sih Adel dan teman taman
kanak-kanakku dulu yang dipanggil Faiz. Eh pas masuk kelas bangku bagian depan
sudah ada yang punya, dengan hati kesal dan kecewa aku pun bersama Faiz
terpaksa duduk dibangku paling pojok belakang. Pada saat perkenalan semua teman
kelasku merasa malu dan segan menyebutkan namanya, pada waktu perkenalanku aku
berdiri “perkenalkan nama saya Muhammad Wahyu Apriansyah, tanggal lahir saya 9
April 2000…” ucapku dengan malu, awal pertama sekolah menengah pertamaku
bersamaan dengan tanggal dan bulan kelahiranku, itulah aku sangat malu pada
saat perkenalan.
“Ketika bukan saya yang menyapa duluan
walaupun itu sok kenal pasti tidak akan ada perkenalan dengan teman kelas
baruku ini walaupun aku juga sebenarnya masih merasakan malu hehe” kataku dalam
hati. Akhirnya aku mencari tahu nama dan asal sekolah mereka, dan Faiz juga
memperkenalkan sepupunya yang bernama Iswan, dia teman baruku yang pertama aku
kenal dan namanya juga tak asing di telingaku karena sejak sekolah dasar dulu
temanku selalu menyebut dan membahas namanya. Yah, Iswan itu memiliki banyak
teman SD di kelas baru kami ada juga namanya Ari dan pada semester dua kelas
tujuh aku teman duduk dengan Ari, aku senang bisa mendapatkan teman duduk
sepertinya karena dia itu orangnya lucu, kocak dan aku kagum padanya. Pada
zaman SMPku masih dikenal yang katanya sih disebut geng-geng begitu, itu yang
aku rasakan dulu nama geng aku Johan and the geng dan nama itu aku yang
buat, Johan and the geng itu ada enam orang yah aku sendiri, Ari, Iswan, Syahrul,
Faiz dan Rezki, sebenarnya itu bukan hanya kata saja atau kelompok yang
abal-abalan, tapi mereka juga sahabat dekat aku dan yang paling bisa mengerti
aku yah bisa dibilang begitulah.
Sewaktu
kelas delapan SMP disitulah tugas-tugas numpuk dan tidak tahu bagaimana cara
mengerjakannya karena contoh dalam buku cetak yang dibagikan sangat berbeda
dengan soal yang diberikan guruku. Tidak ada cara lain lagi selain belajar
bersama apa lagi aku punya sahabat namanya Iswan, dia orangnya pintar jadi kami
pun belajar bersama di rumahnya yah walaupun rumahnya sangat jauh masuk dan
kadang terik matahari menyengat tubuh kami sewaktu kami berjalan masuk dalam
perjalanan menuju rumahnya tapi itu juga bukan hal yang menyia-nyiakan pasti
akan ada keuntungan bagi kami juga. Ketika kami sudah sampai di rumahnya Iswan,
kami dipersilakan masuk oleh ibunya Iswan dengan ramah layaknya sebagai raja
begitu hehe…pertama masuk di rumahnya Iswan, aku melihat barisan foto
keluarganya yang tertera di ruang tamunya “Wah kamu sangat identik dengan
adik-adikmu” ujarkku, “Iyalah kan aku saudara” ucap Iswan dengan tertawa kecil.
Sejenak Iswan masuk dan kembali lagi menyuguhkan kami segelas es jeruk “Tidak
usah Iswan…iya tidak usah lama-lama eh hehe…” kata Ari dengan senyum malu-malu.
Setelah kami makan siang dan bercerita tentang banyak hal mengenai kehidupan
kami masing-masing waktunya belajar bersama, disini kami diajar dengan Iswan
jika salah satu dari kami yang belum mengerti pasti Iswan akan mengulangi
ajarannya lagi sampai kita mengerti semua, yah itulah arti sahabat yang aku
tahu. Waktunya pulang, “Hehe aku sangat senang dapat berbagi ilmu bersama
kalian aku senang dapat memiliki kalian” ucap Iswan. “Yah itulah cara belajar
bersama dengan sahabatku seharian walaupun cerita pengalaman lebih banyak dari
pada belajarnya hehe” ucapku tertawa dalam hati.
Beberapa
hari kemudian sahabatku datang ke rumahku katanya sih cuman mau jalan-jalan
saja,.Sambil bercerita tentang kejadian-kejadian di Sekolah, Dengan menyuguhkan
makanan dan minuman, perut mereka pun sudah merasa kenyang. Setelah makan aku
mengajak mereka pergi menelusuri kawasan rumahku aku pun mengajaknya ke suatu
tempat yang sejuk dan katanya sih indah kalau dipakai foto, dengan percaya
dirinya sahabat-sahabatku pun langsung mengambil foto yang dilatar belakangi
sawah yang hijau yang menjulang tinggi itu. Yah sahabatku sama saja denganku
yang gila foto begitu. Senja telah tiba langit pun berubah menjadi kuning
kemerahan, matahari yang hamper terbenam menunjukkan waktu pulang bagi
sahabatku yang telah menjelang magrib itu, “Dah, lain kali kalian datang kesini
lagi yah” ucapku dengan senang, “Oke, supaya kami bantu habiskan makananmu…”
kata Faiz dengan malu.
Tak terasa aku telah menjadi anak kelas
Sembilan yang nantinya akan lulus dan menjadi alumni di SMPN 1 Sungguminasa
ini, ujian sekolah telah mendekatiku, mengejarku bersama dengan Ujian Nasional
(UN), “Wah aku harus bisa, dengan belajar keras pasti tidak akan mengkhianati,
inilah aku apa adanya dan harus bisa menghadapi semua ujian ini” kataku dalam
hati dengan memberi semangat untuk diriku sendiri. Dengan mengikuti
ekstrakurikuler di luar jam sekolah dan jam sesudah sekolah yang salah satu
tempat belajar yang dipanggil oleh guru untuk mengajar kami. Beberapa minggu
lagi aku akan mengikuti ujian nasional, hati ini berdetak kencang menghadapi
ujian nasional yang akan datang, tapi aku harus percaya diri. Ujian Nasional
pun telah usai dan siswa SMPN 1 Sungguminasa lulus 100% dengan nilai yang
memuaskan, hati ini terasa lega walaupun pendaftaran ke jenjang berikutnya
yakni Sekolah Menengah Atas (SMA) masih mengejarku.
Akhirnya
aku sudah lulus, perpisahan dan penamatan angkatanku pun diadakan dengan
partisipasi banyak orang, yang paling mengharukan bagiku ketika aku harus
bersalaman, meminta maaf dan meminta doa restu untuk menuju Sekolah Menengah
Atas kepada guru-guru yang telah berbaris untuk menunggu datangnya kami di
depannya, menjabat tangan dengan tangisan bahagia dengan kepergian kami.
Setelah acara tersebut telah usai aku pun mengambil foto bersama wali kelas dan
teman-temanku yang lain.
Beberapa
minggu kemudian aku dengan teman-temanku telah merencanakan liburan terakhir
kami yang bertempatkan di Bira bersama dengan tiga kelas lainnya tapi dengan bus
yang berbeda, dengan mengajak ibuku ikut ke Bira agar bisa membantu guruku
memasak untuk kami dengan persediaan makanan dan rempah-rempah yang telah
disediakan oleh teman-temanku, kami pun berangkat ke Bira pada pagi hari dan
kami harus menunggu kurang lebih lima jam sampai di Pantai Bira, sampainya
disana kami langsung mencari tempat tinggal yang telah disewa oleh salah satu
temanku, yah tempat tinggal kami juga sangat nyaman dibandingkan tempat tinggal
kelas lain katanya sih seperti itu. Disana kami bermain sepuasnya melepaskan
canda tawa dan gurau kami, tak melihat jam walaupun itu sudah malam dengan
teman-temanku yang selalu membuat onar dan membangunkan wali kelasku dari
tidurnya dengan rasa kaget. Tengah malam pun telah tiba aku bersama Ari tidak bisa
tidur karena faktor perut yang tidak bisa diajak kompromi, kami pun bergegas
menuju dapur dan melihat sisa makanan tadi malam, ternyata makanan yang ada
cumin pas-pasan, salah satu temanku yang cewek memasakkan kami sesuatu agar
tidak kelaparan hehe dia baik ya. Subuh telah tiba, matahari pun telah terbit
dengan suara khas ayam yang menjadi alarm pagiku ini, teman-temanku pun
bergegas sarapan dan langsung menuju ke Pantai Bira dengan berjalan dari villa,
yah bisa disebut olahraga pagi. Angin pagi yang berhembus dingin, dengan ombak
kecil membasuh kakiku ini “Wah inikah surga kecil yang diberikan Tuhan
kepadaku?” tanyaku dalam hati. Setelah bermain banana boat dan berenang kami
pun lelah dan kembali ke villa untuk mandi bersih dengan air seadanya yang kadang
airnya mengalir kadang juga tidak dan itu membuat kami untuk berebutan kamar
mandi. Setelah itu kami pun kembali ke rumah masing-masing.
Aku telah
bosan tiggal terus di rumah, pendaftaran SMA pun telah terbuka target
pendaftaranku ada tiga SMA yakni, SMAN 1 Sungguminasa, SMAN 11 Makassar dan
SMAN 8 Makassar. Mungkin memang jodohku ada di SMAN 1 Sungguminasa, aku sangat
bangga dan kagum bisa menjadi salah satu siswa di dalamnya, aku tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan ini begitu saja. Mengejar prestasi dengan hasil jerih
payah sendiri itu mungkin lebih baik dengan keikhlasan bantuan orang-orang
disekitarku.
*** TAMAT ***
4. Protagonis Kehidupan
David Wong
Gadis
itu melempar pandangannya pada kaki Iangit, betapa tidak baluran Jingganva nan
menawan yang kian menggoda sebentar lagi raup ditelan oleh malam..
Terdiam...menatap
kosong
Kini,
nun jauh dalam pikirannya bag kaset yang memutar adegan-adengan yang
sedikitpun terlewatkan,pemuda yang
menemani beberapa tahun belakangan ini kembali mencuatkan
pertanyaan.yaa..pertanyaan yang tak sesederhana menjawabnya.
”masihkah
engkau di koridor kesabaranmu, menungguku hingga tiba waktunya membawa sebuah
syarat atas mimpi kita”
Terdiam
dan hening, hingga pikiran-pikiran terasa buntu dan sesak, sesaat bag gunung
merapi yang memuntahkan laharya..entah si pemilik rasapun tak kuasa menelaah
emosi dari mana hingga ia dengan enteng menjawab serpihan kata-kata itu.
"mungkin
aku tak lagi sabar, aku memilih koridor lain, sedikit menjau dari rasa sabar
itu, yaa..koridor ini yang kupijak adalah realistis, bukankah hidup itu harus
realist,,?,
”seperti
itu kah kau sekarang..?, aku merasa kau bukan dirimu yang dulu, Gadisku yang
selalu menerima apa adanya" kata lelaki itu, menatap tajam pada gadis
didepannya, bahkan kopinya tak lagi berasap,seakan kehangatannya diraup oleh
dinginnya situasi diruang segi empat disalah satu warung kopi yang terkenal di
kota itu...
Gadis
itupun berucap tanpa segan, mungkin lahar itu telah lama diendapkan dalam
dinding hatinya, tapi kali ini hati itu kian merapuh dan memuntahkan
segalanya..
‘kau
tak usah berkerut,,aku masih seperti yang dulu,hanya saja lebih realitis saja”
”aku
memang tak memiliki sesuatu apapun, yang bisa membuatmu yakin, tapi visi
hidupku 4 tahun terakhir, semenjak aku mengenal gadis sederhana itu, gadis yang
kukenal tanpa sengaja..bahkan aku masih ingat betul sapaan senyumnya, potongan
hijab abu-abunya serta tubuhnya dibalut oleh almamater orangenya, saat itu pula
terbesit dalam hatiku suatu saat nanti ia akan menjadi bagian hidupku,
kuyakinkan bahwa misiku membawanya ke puncak lalu melihat sesuatu yang indah di
atas Dan di bawah sana..tapi ah.. sekarang akupun tak yakin.. "
Dalam
batas normal gadis itu, akan berurai air mata, luluh oleh ucapan lelaki yang berada
di depaanya betapa tidak, ia tau persis gadis yang dibicarakannya adalah
tentang dirinya, saat perjumpaan pertamanya saat mendapatkan tugas Kuliah Kerja
Nyata dari kampusnya namun lagi dan lagi egonya tak mampu lagi menahan ingin
hatinya.
"
bagaimana engkau mampu meyakini orang diluar dirimu, sementara engkaupun tak
meyakini atas kemampuanmu”suaranva agak ketus dan tatapannva tajam pada pemuda
di depannya.
Kemudian
ucapnnya berurai begitu saja
“
jika kau berada pada posisi dimana seseorang mengajakmu menjelajahi hutan
rimba, sedang pemimpinmu pun tak tau arah mana yang ia tuju, bahkan kompas,
persediaan makanan ia tak punya,apakah kau serta merta akan mengikutinya tanpa
ragu ?”
Pemudah
itu menatap dengan kosong, lalu menjawab lirih "tidak”.
"lalu,
salahkah jikalau aku memilih koridor yang berbeda,,?, kau hanya sedikit
membolak balikkan saja nalarmu, aku takut kesabaranku membuatmu terlalu
menikmati titik ini, semoga dengan ketidaksabaranku lebih memacu adrenalinmu
untuk meyakinkanku.." kata gadis itu,, pemuda itu hanya terdiam, entah
kenapa dia lebih banyak diam, biasanya satu celotehanku dibalas oleh ribuan
argumennya, apa yang dipikirkannya, atau kata-kata gadis itu terlampau berani ?
"bukan
masalah, kau mengajakku menulusuri hutan kehidupan, banyak rintangan
didalamnya, walau kau tak punya kompas bahkan bekal sekalipun, setidaknya kau
masih memiliki ilmu bukan..? bukankah para pendaki gunung jika kehabisan bekal
memanfaatkan yang ada disekitarnya..?, dan jika sulit menentukan arah bukankah
mentari yang menjadi patokan, hal kecil saja sebatang pohon yang tak pernah
terkena mentari akan berlumut, sedang sisi lainnya tidak ditumbuhi lumut
menandakan sisi itulah yang terkena sinarnya, demikian halnya hidup, seseorang
terkadang hanya butuh diyakinkan.”...
"jikau
berfikir realistis, apakah kau percaya dengan kata-kata yang akan
kulontarkan..?apakah kau percaya atas janji-janjiku, kurasa tidak, mungkin kau
sudah muak mendengar keluh kesahku,mungkin pula telingamu sudah muak mendengar
kata-kata yang tanpa realisasi, lalu menurutmu hal apa yang mampu aku lakukan
untuk mengembalikan senyummu, mengembalikan keceriaanmu"?kata pemuda itu
lirih.
”temukan
solusimu sendiri, bahkan atensiku tak ingin terpusat pada hal-hal seperti
sudahlah..pikirkan sendiri” gadis itu berkata masih dalam nada yang sama tapi
kali tak sedikitpun memandang lawan bicaranya, pandangannya liar menelusuri
jalan diluar sana.
Terdiam
sejenak, detik berganti menit tak ada suara, entah entah pikiran mereka
menjalar entah kemana, lelaki itu terlihat memandang dinding langit-langit
ruangan persegi empat itu, seakan menahan Sesutu, mencegahnya keluar dari
pelupuk matanya, sementara gadis itu asik memainkan kertas ditangannya terlihat
lebih tegar dari biasanya, 15 belas kemudian,,pemuda itu berucap…
"diluar
sana, masih banyak yang lebih baik, sebaiknya kamu tidak menutup diri atas
mereka, seperti saya tak mampu, bukan karna aku tak menyayangi hanya saja aku
tak memiliki apa-apa bahkan tak bisa diharapkan" giliran pemuda itu
melemparkan pandangannya pada kendaraan yang lalu lalang didepannya.
”aku
tak mencari sesuatu yang lebih baik, aku hanya berharap seseorang bersamaku
sekarang bisa pemberbaiki dirinya untuk menjadi lebih baik” ucap gadis itu
”bukankah,
ditempat menuntut ilmu sekarang kau bertemu dengan banyak orang-orang yang
lebih baik?, setidaknya kalian berada pada strata pendidikan yang sama"
“tak
ada kualifikasi atas sebuah rasa yang tulus” raut memerah menyelimuti wajah
gadis itu pandangannya seakan kabur, berusaha menghindari kontak mata dan
berpura-pura memperbaiki posisi hijabnya.
"wacana
tetaplah wacana, sekuat apapun kita mendeskripsikan impian kita, bukankah ada
scenario diatas scenario ? serahkan saja pada scenario terbaiknya. Yakinlah..
mungkin kita akan kehilangan yang baik tapi kita akan mendapatkan lebih baik.
Tapi jikalau doa itu terjamah olehnya, dipenghujung jalan nanti akan ada situsi
dimana kau melafalkan akalmu dikediamanku..gadis itu berkata lirih, entah rasa
sesal apa yang berkecabuk dalam dirinya, tapi logikanya terlalu kuat untuk dikalahkan
oleh argument dan teriakan hatinya.."
***
Kini
senja telah raup dengan gelapnya malam, malam yang berbeda, tak ada hiasan
gemintang, sesaat semakin gelap dan gelap. . ,dan sesaat rinainya mengepung
kotaku rintik demi rintik menyeret kata-kata pemuda itu "Kita pernah
melewati beberapa musim hujan secara bersama-sama bukan..?. Berbasah kuyup
diatas kendaraan beroda dua, atau sekedar mampir untuk menunggu hujan reda...
Hingga pada akhirnya kita terduduk dalam satu meja yg sama, memesan sebuah minuman
atau makanan sebelum mengakhiri hari yg luar biasa ini....,kamu pasti ingat,
kau pengingat paling ulung yang pernah kutemui"
Entah,
masikah engkau bertengger sebagai protagonist
itu, biarlah skenarionya yang berbicara,Syair malam ini terlalu indah untuk
dilewatkan, nyanyian rintiknya adalah alunan terindah dari alam ini hanya saja
semua manusia tak mampu merasakannya, cobalah lebih dekat dengan alam,hingga
tanyamu terjawab. . . nun jauh di kotamu kau dengan kesibukanmu semoga kau
tetap berada dalam lindunganya, entah serpihan-serpihan ini akan menjadi utuh
atau kian berserakan, mari kita kembalikan padaNya, kepada sang pemilik cinta
sejati Yang menghadirkan rasa didaerah yang paling krusial yang kita miliki..
*** TAMAT ***