Makalah Pembagian Hukum Islam

Posted by



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
            Dalam kehidupan ini, segala perbuatan manusia baik itu prilaku maupun tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum dalam Qur'an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum didalam keduanya akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui oleh  jumhur ulama yaitu Ijma dan Qiyas.

            Hukum syari'at -atau biasa disebut juga dengan hukum syara'- sangatlah penting untuk dipelajari, terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa), karena hukum syara' adalah peraturan dari Allah swt yang sifatnya mengikat bagi semua ummat Islam.
            Jika kita berbicara tentang ushul fiqih maka hukum syara' adalah inti atau puncak dari ilmu ushul fiqih. Karena segala sesuatu yang dipelajari didalam ilmu ushul fiqih maka akan berlabuh pada hukum syara’. Dengan kata lain, ilmu ushul fiqih merupakan alat untuk menemukan hukum syara’ atau biasa disebut dengan hukum fiqih. Dengan mengetahui hukum syara’, maka kita akan menjalankan kehidupan ini –terutama ibadah yang kita kerjakan- sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah Swt, dan RasulNya.
            Untuk itu, lewat makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian hukum syara’ dan hukum taklifi serta sekilas tentang hukum wadh’i yang menjadi bagiannya.

B. Tujuan Makalah
            Setiap kegiatan pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai, demikian juga yang dilakukan oleh penyusun dalam pembuatan makalah ini. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah :
v  Memberikan penjelasan tentang pengertian hukum syara’.
v  Mengetahui tentang pembagian hukum syara’.
v  Memahami tentang pengertian hukum taklifi.
v  Mengetahui serta memahami tentang pembagian hukum taklifi.

B. Rumusan Masalah
            Untuk mempermudah pembahasan dalam makalah ini, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
v  Apa pengertian hukum syara’?
v  Sebutkan pembagian hukum syara’?
v  Apa pengertian hukum taklifi?
v  Sebutkan pembagian hukum taklifi beserta cabang-cabangnya?















BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM SYARA'

A. Pengertian Hukum Syara'
                Hukum syara' merupakan kata majemuk yang berasal dari bahasa Arab yaitu “al-hukm asy-syar'i”, ini berarti kata tersebut terdiri dari dua kata yaitu hukum dan syara'. Hukum secara etimologi yaitu memutuskan atau mencegah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata hukum mempunyai definisi peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang disuatu masyarakat (negara). Sedangkan pengertian hukum syara' secara singkat disebutkan sebagai hukum Islam. Adapun kata syara secara etimologi ialah menuju aliran air, sedangkan secara terminologi ialah jalan yang nyata dan terang yang mengantarkan manusia kepada keselamatan dan kesuksesan di dunia dan akhirat. 
               
Namun secara terminologi ushul fiqih, yang dimaksud dengan hukum syara' ialah :
                “Khitab Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk iqtidha (tuntuan), atau takhyir (pilihan) dan atau dalam bentuk wadh'i (ketentuan yang ditetapkan)”.

                Secara ringkas, uraian definisi diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
                Yang dimaksud dengan khitab Allah ialah kalam Allah, yaitu yang berwujud dalam bentuk ayat-ayat Al-qur'an. Dalam konteks ini kalam Allah ada yang bersifat langsung dan adapula yang bersifat tidak langsung. Yang bersifat langsung yaitu ayat-ayat Al-qur'an dan yang bersifat tidak langsung yaitu hadits-hadits Rasulullah Saw. Hadits-hadits Rasulullah Saw disebut juga sebagai kalam Allah secara tidak langsung dikarenakan semua yang berasal dari Rasulullah Saw pada hakikatnya merupakan wahyu Allah yang disampaikan kepada beliau, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt pada surah An-Najm ayat 3-4 :
               
                “Dan tiadalah yang diucapkannya itu ( Al-qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya.        Melainkan wahyu yang di wahyukan (kepadanya)”.

                Namun selain ayat-ayat Al-qur'an dan hadits-hadits Rasulullah Saw adapula yang dijadikan dalil untuk mengungkap hukum syara' yaitu Ijma dan Qiyas, tetapi keduanya tetap saja bersandar pada Al-qur'an dan hadits.
                Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan mukallaf ialah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa (baligh), dan berakal sehat, termasuk perbuatan hati (niat) maupun perbuatan ucapan (ghibah). Sebagaimana yang kita ketahui didalam Al-qur'an dan hadits banyak berbicara tentang berbagai aspek yang sangat luas, baik itu sejarah, ilmu pengetahuan, penciptaan alam semesta, dan lain-lain. Akan tetapi dengan adanya penegasan kalimat diatas, maka yang dinamakan hukum menurut ushulliyin adalah hanya terbatas pada ayat-ayat atau hadits-hadits yan berkaitan dengan pengaturan perbuatan mukallaf saja, sedangkan ayat-ayat yang tidak berkaitan dengan perbuatan mukallaf tidak termasuk dalam kategori hukum syara’. Ayat-ayat seperti ini biasa disebut dengan istilah “ayat al-ahkam dan hadits al-ahkam”.
                Selanjutnya pada definisi hukum syara’ diatas disebutkan pula “dalam bentuk tuntuan (iqtidha), atau pilihan (takhyir) atau ketentuan yang ditetapkan (wadh’i). Adapun yang dimaksud dengan tuntuan ialah perintah untuk mengerjakan sesuatu atau larangan untuk mngerjakan sesuatu.
                Dengan demikian salah satu kriteria ayat atau hadits hukum ialah terdapat makna perintah atau larangan. Sebagai contoh ialah dalam surat Al-isra ayat 78 yang mengandung perintah mendirikan shalat dan surat Al-isra ayat 32 yang berisi larangan mendekati zina.
                Kriteria ayat dan hadits hukum lainnya ialah didalamnya terkandung makna kebebasan memilih (takhyir), yaitu kebebasan yang diberikan kepada mukallaf untuk memilih melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Sebagai contoh terdapat pada surah Al-fath ayat 17, Allah swt berfirman :
            “Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang-orang yang pincang dan atas orang-      orang yang sakit (apabila tiak ikut berperang), dan barang siapa yang taat kepada Allah dan               Rasul-Nya niscaya Allah akan memasukannya kalam surga yang mengalir dibawahnya sungai- sungai, dan barangsiapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.”

            Jadi dalam hal ini mereka boleh memilih antara ikut berjihad atau tidak ikut, karena didalam ayat tersebut terkandung makna memilih.
                Kriteria selanjutnya ialah jika suatu ayat dan hadits mengandung ketentuan yang ditetapkan (wadh’i) yaitu perbuatan mukallaf berkaitan dengan sebab (as-sabab) atau syarat (asy-syarth) atau halangan (al-mani’) tertentu. Contoh kaitan perbuatan mukallaf denga suatu sebab ialah perintah melaksanakan shalat zhuhur, Allah swt berfirman :
               
                “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampia gelap malam dan (dirikanlah pula      shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat”.

                Dalam hal ini posisi matahari melampaui titik kulminasi atasnya merupakan sebab wajibnya shalat zhuhur. Demikian juga dengan terpenuhinya nisab harta merupakan sebab wajibnya menunaikan zakat. Contoh lainnya, keadaan safar (bepergian) atau sakit merupakan sebab bolehnya tidak berpuasa dibulan Ramadhan.
                Sedangkan contoh perbuatan mukallaf yang berkaitan syarth ialah, adanya persyaratan suci untuk sahnya shalat. Sebagaimana dalam surah Al-maidah ayat 6 yang memerintahkan kita untuk bersuci (wudhu) sebelum shalat. Dalam hal ini, suci dari najis dan hadas merupakan syarat sahnya shalat yang dikerjakan seorang mukallaf.
                Adapun contoh kaitannya dengan halangan tertentu (al-mani') ialah, pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya merupakan penghalang terjadinya pewarisan diantara mereka. Demikian juga dengan perbedaan agama merupakan penghalang terjadinya saling mewarisi antara suami istri ataupun antara kerabat,meskipun terdapat sebab saling mewarisi diantara mereka, yaitu perkawinan dan kekerabatan itu sendiri.
                Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dikalangan ulama ushul fiqih ayat Al-qur'an dan hadits Rasulullah Saw, dapat disebut hukum jika ia mengandung makna perintah dan larangan untuk melakukan perbuatan, atau mengandung pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, atau mengadung makna hubungan perbuatan mukallaf dengan suatu sebab, atau suatu syarat, atau suatu halangan tertentu.

B. Pembagian Hukum Syara'
            Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan definisi hukum syara'. Dan dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan hukum syara' adalah firman Allah (termasuk hadits-hadits Nabi Saw) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik dalam bentuk iqtidha (tuntutan/perintah untuk melakukan perbuatan, ataupun larangan meniggalkan suatu perbuatan), ataupun takhyir (pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan), dan wadh'i (ketentuan syari'ah dalam bentuk penetapan suatu sebagai sebab (sabab), syarat (syarth), dan halangan (mani') dari suatu perbuatan tertentu. Berdasarkan hal itu, secara garis besar hukum syara' dibagi kepada dua bagian yaitu : hukum taklifi dan hukum wadh'i. Dibawah ini akan diberikan penjelasan tentang kedua hukum tersebut :

v  Hukum Taklifi ialah Firman Allah yang berbentuk thalab (tuntuan) dan takhyir (pilihan) atas suatu perbuatan. Pada umumnya ulama ushul fiqih mendefinisikan sebagai berikut :
                “Sesuatu yang mengandung perintah untuk berbuat atau tidak berbuat ataupun untuk memilih   antara                 berbuat dan tidak berbuat suatu perbuatan”.

v  Sedangkan Hukum Wadh'i ialah firman Allah yang berbentuk wadh'i (ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sabab (sebab), syarth (sayarat) atau mani' (halangan) dari suatu ketetapan hukum. Ulama ushul fiqih mendefinisikannya :
“Aturan yang mengandung ketentuan bahwa sesuatu merupakan sebab bagi suatu yang lain, atau menjadi syarat baginya, atau menjadi penghalang untuknya.”

               
Dari definisi diatas, kedua hukum tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat. Jika hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah, larangan, atau memilih antara melaksanakan atau meninggalkan maka hukum wadh'i adalah yang menjelaskan tentang hukum taklifi. Maksudnya, jika hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib bagi ummat muslim, maka hukum wadh'i menjelaskan bahwa terbenamnya matahari menjadi sebab tanda bagi wajibnya mukallaf menunaikan shalat magrib.




BAB III
PEMBAHASAN
HUKUM TAKLIFI

A. Pengertian Hukum Taklifi
            Pada uraian tentang pembagian hukum syara' diatas telah dijelaskan bahwa hukum taklifi mengambil hukum thalab (tuntutan) dan takhyir (pilihan) atas suatu perbuatan. Seperti yang kita ketahui dari pembahasan-pembahasan sebelumya bahwa tuntutan (thalab) yaitu suatu perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau perintah untuk meninggalkannya. Sedangkan takhyir mengandung kebebasan memilih bagi mukallaf untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan. Jumhur ulama membagi hukum taklifi menjadi lima yang mereka sebut dengan “ahkam al-taklifi al-khamsah”.

B. Pembagian Hukum Taklifi
            Secara lebih terperinci, ahkam at-taklifi al-khmasah (hukum taklifi yang lima) dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Al-wujub (wajib)
            Al- wujub atau yang lebih dikenal dengan wajib yaitu hukum yang berisfat mesti (harus) dilakukan. Pada umumnya ulama ushul fiqih menjelaskan kata wajib secara etimologi berarti tetap. Sedangkan secara terminologi ialah :
               
                “Perbuatan yang dituntut Allah untuk dilaksanakan oleh mukallaf dengan sifat mesti dilakukan, yang jika perbuatan itu dilaksanakan, maka pelakunya diberi pahala, dan jika ditinggalkan               maka     ia dikenakan dosa”

                Hukum wajib ini dapat dibagi lagi menjadi beberapa bagian, seperti hukum wajib di tinjau dari segi pelaksananya, waktu pelaksanaannya, perbuatan yang diperintahkan, segi kadar kewajiban yang diperintahkannya, dan dari segi tujuannya.

a)      Hukum di tinjau dari segi pelaksananya
            Ditinjau dari segi pelaksananya, maka wajib dibagi menjadi dua, yaitu : al-wajib al-'aini dan al       wajib al-kafa'i.
                1. Al-wajib al-'aini
                Adapun yang dimaksud dengan al-wajib al'aini adalah : “Suatu yang dituntut asy-Syar'i (Allah        dan Rasul-Nya) pelaksanaannya oleh setiap individu mukallaf”. Kewajiban 'aini bersifat        individual tanpa membedakan antara satu mukallaf dengan mukallaf yang lainnya. Contohnya                 ialah melaksanakan shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, membayar zakat jika sudah memenuhi persyaratan nishab dan haul, melaksanakan ibadah haji bagi yang memenuhi syarat.
                2. Al-wajib al-kafa’i
                Yang dimaksud dengan wajib kafa’i (kewajiban kolektif) ialah “Suatu perbuatan yang dituntut      asy-syar’i pelaksanaannya oleh sekumpulan mukallaf, bukan oleh setiap individu mukallaf’.               Kewajiban ini bersifat kolektif. Apabila beberapa orang dari sejumlah mukallaf telah       melaksanakan kewajiban tersebut dengan sempurna maka secara otomatis kewajiban itu tidak         lagi dituntut untuk dikerjakan oleh mukallaf lainnya. Tetapi apabila kewajiban tersebut tidak    dilaksanakan oleh seorang pun diantara mereka, maka setiap individu dari sekumpulan mukallaf                 tersebut menjadi berdosa. Contohnya ialah sholat jenazah, memelihara anak yatim,          melaksanakan amar ma’ruf wa nahy munkar dan berperang fi sabilillah.
                Dalam masalah ini meskipun wajib kafa’i bersifat kolektif namun ia dapat berubah menjadi            wajib ‘aini. Perubahan ini dapat terjadi apabila dalam suatu lingkungan masyarakat hanya ada            seorang mukallaf  yang mampu melaksanakan kewajiban tersebut. Misalnaya, jika dalam suatu masyarakat hanya terdapat seorang yang mampu menjadi guru atau menjadi pemimpin    masyarakat, maka orang tersebut secara individual wajib melaksanakan kewajiban sebagai guru    atau pemimpin masyarakat tersebut.
               
                Sebagai catatan, walaupun kewajiban ini bersifat kolektif bukan berarti suatu kewajiban dipandang telah terlaksana jika sudah dilaksanakan oleh sebagian mukallaf, akan tetapi pada         hakikatnya setiap individu dari suatu kelompok mukallaf bertanggun jawab melaksanakan                       kewajiban tersebut sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dengan demikian sesungguhnya               kewajian kafa’i menuntut partisipasi seluruh mukallaf, jangan sampai ada suatu kelopok            mukallaf yang tidak peduli dengan alasan bahwa suatu kewajiban telah dilaksanakan oleh       sebagian mukallaf.

b)     Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya
Ditinjau dari segi pelaksanaannya, wajib dapat dibagi menjadi dua yaitu : al-wajib al-muthlaq dan al-wajib al-mu’aqqat.
1. Al-wajib al-muthlaq
Yang dimaksud dengan al-wajib al-muthlaq ialah “Suatu kewajiban yang asy-syar’i tidak mengkaitkan pelaksanaannya dengan waktu tertentu”. Dengan kata lain waktu pelaksanaan kewajiban ini dapat ditangguhkan dan dilaksanakan kapan saja. Misalnya, pembayaran kafarat sumpah. Demikian juga meng-qodho puasa Ramadhan yang tidak terlaksana karena udzur, pembayarannya atau pelaksanaannya dapat kapan saja waktu yang dianggapnya lapang, sesuai  dengan mazhab Hanafi. Akan tetapi menurut mazhab Syafi’i pelaksanaan qodho puasa ialah sebelum datangnya kewajiban puasa Ramadhan berikutnya. Jika ditunda lagi, maka dikenakan denda fidyah berganda
2. Al-wajib al-mu’aqqat
Adapun yang dimaksud dengan wajib mu’aqqat ialah “Suatu kewajiban yang asy-syar’i mengaitkan pelaksanaannya dengan waktu tertentu”. Karena kewajiban ini waktunya tertentu, maka pelaksanaan kewajiban ini dianggap tidak sah apabila dilakukan diluar waktu yang telah ditentukan. Dalam hal ini, wajib mu’aqqat terbagi menjadi tiga bagian :
a. Al-wajib al-muwassa’
Yang dimaksud dengan wajib muwassa’ (waktu kewajiban yang luas) ialah “Suatu kewajiaban yang waktu pelaksanaannya lebih luas daripada ukuran waktu pelaksanaan    perbuatan yang diwajibkan”. Contohnya, waktu pelaksanaan shalat yang lima. Waktu            shalat zhuhur misalnya, disamping dapat dipergunakan untuk melaksanakan shalat          zhuhur itu sendiri, dapat pula dipergunakan untk melaksanakan shalat-shalat sunnah    lainnya.
b. Al-wajib al-mudhayyaq
Yang dimaksud dengan al-wajib al-mudhayyaq (waktu kewajiban yang sempit) ialah : “        Suatu kewajiban yang panjang waktunya sama dengan waktu yang diperlukan untuk       pelakanaan perbuatan yang diwajibkan”. Karena waktu pelaksanaan kewajiban yang              tersedia sama dengan waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan kewajiban itu sendiri,               maka disamping suatu kewajiban tidak dapat dilakukan diluar waktunya, pada waktu      yang sama juga tidak dapat dilakukan perbuatan yang sejenis. Contohnya ialah puasa    bulan Ramadhan, disamping tidak dapat dilakukan diluar bulan Ramadhan, maka pada    bulan tersebut tidak dapat pula dilaksanakan puasa-puasa lainnya.
c. Al-wajib dzu syabhain
Yang dimaksud dengan al-wajib dzu syabhain (waktu kewajiban memiliki dua           kemiripan) ialah waktu pelaksanaan kewajiban yang ditinjau dari satu sisi bersifat                muwassa’ (luas) tetapi jika ditinjau dari sisi lain bersifat mudhayyaq (sempit). Misalnya     pelaksanaan ibadah haji, ditinjau dari segi pelaksanaan ibadah haji itu sendiri yang           hanya memerlukan waktu beberapa hari, waktunya disebut muwassa’ karena bulan haji ada beberapa bulan dalam setahun. Akan tetapi ditinjau dari segi bahwa ibadah haji     hanya dapat dilakukan sekali dalam satu tahun maka waktunya disebut mudhayyaq.

c)      Wajib ditinjau dari segi perbuatan yang diperintahkan
            Dari segi perbuatan yang diperintahkan, wajib ini dibagi menjadi dua bagian yaitu : al-wajib al-     mu'ayyan dan al-wajib al-mukhayyar. 
                1. Al-wajib al-mu'ayyan
Yaitu kewajiban tertentu atau “suatu kewajiban yang asy-syar'i memerintahkan untuk melakukan           suatu perbuatan tertentu”. Artinya bahwa kewajiban ini tidak dapat digantikan dengan perbuatan lain. Contohnya melaksanakan shalat lima waktu,           kewajiban ini bersifat tertentu dan spesifik. Jadi kewajiban ini tidak dipandang telah terlaksana dengan mengerjakan perbuatan lainnya.
            2. Al-wajib al-mukhayyar
Yaitu “Suatu kewajiban yang asy-syar'i memerintahkan untuk melakukan salah satu dari beberapa perbuatan tertentu”. Dalam kewajiban ini seorang mukallaf diberi alternatif untuk melaksanakannya. Contohnya membayar kafarat karena melanggar sumpah, asy-syar'i menyediakan pilihan antara memberi makan sepuluh orang miskin atau puasa tiga hari. Jadi, dengan melaksanakan salah satu dari perbuatan yang dipilih, maka seorang mukallaf telah membayar kafarat sumpahnya dan melaksanakan kewajiban yang diperintahkan.

d)     Wajib ditinjau dari segi kadar kewajiban yang diperintahkan
            Ditinjau dari segi kadar kewajiban yang diperintahkan, maka kewajiban ini dibagi menjadi dua      bagian, yaitu al-wajib al-muhaddad dan al-wajib ghair al-muhaddad.
                1. Al-wajib al-muhaddad
Yaitu kewajiban yang bersifat terbatas atau “suatu kewajiban yang asy-syar'i menentukan perbuatan mukallaf itu berdasarkan kadar/ukuran tertentu”. Contohnya, membayar zakat al-mal                (harta) atau zakat fitrah, kewajiban ini mempunyai kadar tertentu yang jika belum sesuai dengan syarat atau ketentuan, maka kewajiban tersebut belum terlaksana. Jadi, seorang mukallaf  baru dipandang melaksanakan kewajiban zakat jika sesuai dengan kadar dan ketentuan yang sudah ditetapkan. Demikian juga dengan shalat, kewajiban shalat ini baru akan dipandang terlaksana jika sesuai dengan kadar/ukuran yang sudah ditetapkan yaitu dengan memnuhi rukun-rukun dan syarat-syarat atau jumlah raka'atnya.
                2. Al-wajib ghair al-muhaddad
                      Yaitu kewajiban yang tidak terbatas atau “suatu kewajiban yang asy-syar'i tidak menentukan ukuran/kadar kewajiban itu secara tertentu”. Contohnya ialah kewajiban memberi nafkah kepada kerabat/keluarga yang miskin seperti orangtua atau saudara dan lain-lain. Dalam hal ini          tidak      ada ukuran/kadar yang tegas berapa nafkah yang harus diberikan. Yang terpenting ialah nafkah tersebut dapat memenuhi kebutuhan keluarga yang miskin itu, dan tentunya sesuai dengan kemapuan orang yang memberikan.
Berbeda halnya dengan kewajiban memberi nafkah terhadap istri, sebagian ulama berpendapat kewajiban suami memberi nafkah kepada istri adalah muhaddad, dalam arti meskipun tidak terdapat nash Al-qur'an dan hadits yang menjelaskan batasan nafkah istri, tetapi hakim dapat menetapkan jumlah dan ukuran/kadar nafkah istri yang menjadi kewajiban suami. Dalam  hal ini, jika suami tidak membayar nafkah tersebut maka hakim dapat memaksa suami untuk membayarnya. Alasan kelompok ulama yang berpendapat seperti ini ialah bahwa dalam hal kewajiban haruslah mempunyai dasar yang tegas dan pasti. Apabila seseorang dibebani sesuatu kewajiban maka kewajiban tersebut haruslah terukur dan jelas, agar seorang mukallaf dapat melaksanakan kewajiban tersebut dengan sempurna. Dengan kata lain suatu perbuatan dikatakan wajib apabila terdapat kriteria dan batasan yang jelas, jika suatu perbuatan yang diperintahkan tidak memiliki kadar/ukuran yang jelas maka perbuatan tersebut hanya merupakan anjuran saja. Akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban seorang           suami member nafkah kepada istri termasuk kedalam kelopok al-wajib ghhair al-muhaddad, sama seperti kewajiban seseorang terhadap keluarga yang miskin.

2. An-nadb (mandub)
            Secara etimologi mandub mempunyai arti sesuatu yang dianjurkan karena ia bersifat penting. Sedangkan secara terminologi para ahli ushul fiqih mendefinisikan dengan berbagai ungkapan, diantaranya :
  Ø   Suatu perbuatan yang asy-syar’i menyerukan untuk melakukannya tetapi tidak memestikan untuk melaksanakanya.
  Ø   Suatu perbuatan yang asy-syar’i memberi pahala kepada pelakunya tetapi tidak menimpakan dosa kepada orang yang tidak melakukannya.
  Ø   Suatu perbuatan yang asy-syar’i memerintahkan untuk mengerjakannya tetapi secara umum tidak mencela orang yang meninggalkan perintah itu.

Dari ketiga definisi yang dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa mandub ialah :
                “Suatu yang asy-syari menganjurkan untuk melaksanakan perbuatan, apabila dikerjakan               mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak akan dicela dan tidak dikenakan dosa”.

Dalam hal ini terdapat beberapa istilah untuk menunjukan pengertian yang sama dengan makana mandub tetapi dengan tinjauan yang berbeda, yaitu:
 Ø   Sunnah, disebut demikian karena perbuatan mandub tersebut sering dilakukan oleh Nabi Saw.
 Ø   Tathawwu, karena perbuatan mandub dikerjakan orang sebagai tanda ketundukannya kepada perintah syara’.
 Ø   Mustahab, karena yang mengerjakan perbuatan mandub disenangi oleh Allah dan Rasul-Nya.
Ø   Nafal/nafilah, karenan perbuatan mandub dikerjakan sebagai nilai lebih atau bonus kepatuhannya melaksanakan perbuatan yang wajib.
 Ø   Ihsan, karena yang mengerjakannya menunjukan sikap baik menerima aturan-aturan syara’.
 Ø   Fadhilah, karena meninjau segi keutamaan orang yang mematuhi anjuran syara’ tanpa paksaan.

Secara garis besar mandub dibagi menjadi dua macam, yaitu : sunnah al-huda dan sunnah az-zawaid.
a. Sunnah al-huda
                Adapun yang dimaksud dengan sunan al-huda ialah sunnah-sunnah petunjuk agama atau perbuatan-perbuatan yang pelaksanaannya ditunjukan oleh Nabi Saw yang fungsinya sebagai kelengkapan dari kewajiban-kewajiban agama. Sunnah al-huda dapat pula dibagi menjadi dua bagian yaitu : sunnah mu’akkadah dan sunnah ghair al-mu’akkadah.
            1.) Sunnah mu’akkadah
Adapun yang dimaksud dengan sunnah al-mu’akkadah ialah sunnah yang sangat dianjurkan atau perbuatan-perbuatan yang senantiasa dilaksanakan Rasulullah Saw, tetapi terdapat informasi hadits yang menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut bukan termasuk perbuatan yang fardhu atau    wajib. Contohnya ialah shalat berjama’ah, shalat dua hari raya (idul fitri dan idul adha), shalat witir,         shalat dua raka’at sebelum shalat subuh, adzan, dan iqamah. Meskipun pelaksanaan dari sunnah ini tidak merupaka kewjiban, tetapi sunnah ini sangat dianjurkan  sehingga orang yang meninggalkan perbuatan sunnah ini dibenci dan dianggap tercela oleh syara’. Oleh karena itu, dari tingkatannya perbuatan ini dikelompokan sebagai sunnah mu’akkadah. Mengingat pentingnya sunnah ini, sebagian ulama Hanafiayyah bependapat bahwa orang-orang yang meninggalkan perbuatan ini secara terus menerus mesti diperingati agar mereka melaksanakannya. Apabila setelah diperingati mereka masih juga belum mau melaksanakannya maka mereka harus dipaksa untuk mengerjakannya bahkan mereka boleh diperangi. Alasannya ialah mereka yang meninggalkan sunnah ini dianggap meringan-ringankan syari’at agama.
                2.) Sunnah ghair al-mu’akkadah
Adapun yang dimaksud dengan sunnah ghair al-mu’akkadah ialah sunnah yang biasa atau perbuatan-perbuatan yang dikerjakkan Rasulullah Saw, tetapi frekuensi perbuatan tersebut tidak bersifat rutin dan hanya sesekali dilakukan, sehingga bukan merupakan kebiasaan beliau. Contohnya ialah melaksanakan shalat dua rakaat sebanyak dua kali sebelum dan sesudah shalat dzuhur dan puasa Senin dan Kamis. Pelaksanaan sunnah ini, disamping hukumnya tidak wajib, meniggalkannya juga tidak dipandang tercela dan dibenci, sehingga orang yang meninggalkannya tidak boleh dipaksa apalagi diperangi.
b. Sunnah az-zawa’id
                Adapun yang dimaksud dengan sunnah az-zawa’id ialah sunnah-sunnah tambahan atau perbuatan-perbuatan yang dilakukan Nabi Saw yang selain tidak merupakan kewajiban, orang yang meninggalkannya tidak pula dianggap tercela dan dibenci oleh syara’. Contonya ialah membaca ayat-ayat yang panjang dalam pelaksanaan shalat, dan meniru cara berpakaian juga cara makan dan minum. Demikian juga perbuatan-perbuatan yang lain yang biasa dilakukan beliau dalam kehidupann sehari-hari sebagai manusia.

3. Al-hurmah (haram)
                  Yang dimaksud dengan haram ialah suatu perbuatan yang asy-syar'i menuntut mukallaf harus meninggalkan (melarang melakukannya) yang jika mukallaf menjauhi larangan itu karena patuh kepada Allah, maka ia akan diberi pahala, sedangkan jika melanggar larangan itu maka ia dinilai melakukan pendurhakaan kepada Allah sehingga akan dikenai dosa dan ancaman siksa. Contohnya ialah menikahi wanita-wanita yang menjadi mahram, sebagaimana ditegaskan Allah dalam surah An-nisa ayat 23 ;

            “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-           saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara               ibumu   yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-       anak      perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu,           saudara               perempuan sepersusuan,  ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam               pemeliharaanmu dan istri yang telah kamu campuri”.

            Menurut jumhur (mayoritas) ulama, haram dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : al-muharram lidzatihi dan al-muharram li ghairihi.

a. Al-muharram lidzatihi
                Yang dimaksud dengan al-muharram lidzatihi ialah sesuatu yang haram karena zatnya atau sesuatu yang sejak semula dilarang asy-syar'i, karena didalamnya terkandung bahaya yang sangat besar untuk kelestarian hidup manusia. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan utama ditetapkannya syari'at adalah untuk melindungi dan memelihara kehidupan manusia, baik itu agama, jiwa, akal, dan harta. Contoh haram lidzatihi yang mengancam agama ialah haramnya murtad sebagaimana disebutkan pada surah Al-baqarah ayat 217 :
                “Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu ia mati dalam kekafiran, maka     mereka                 itulah yang sia-sia amalannya didunia dan diakhirat dan mereka itulah penghuni                neraka, mereka                 kekal didalamnya”.

Contoh haram lidzatihi yang mengancam jiwa ialah, sebagaimana terdapat dalam surah al-isra ayat 31 :
                “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan     memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu, sesungguhnya membunuh mereka adalah   suatu     dosa yang besar”.           

Contoh haram lidzatihi yang mengancam akal ialah, sebagaimana terdapat dalam surah al-Maidah : 90 :
                “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya meminum khamr, berjudi, (berkorban untuk)         berhala,                 mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan, maka jauhilah               perbuatan-                perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.

Contoh haram lidzatihi yang mengancam harta ialah, sebagaimana yang tercantum pada surah al-Baqarah ayat 188 :
                “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan           jalan      yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya               kamu     dapat    memakan sebagian daripada harta benda oranglain itu dengan jalan berbuat           dosa, padahal kamu       mengetahui”.

b. Al-muharram lighairihi
                Adapun yang dimaksud dengan haram lighairihi adalah sesuatu yang haram karena yang lain atau ketentuan haram yang bukan karena zatnya tetapi karena adanya faktor lain yang mengubah menjadi haram. Contohnya ialah melakukan jual beli ketika adzan shalat jum'at sudah berkumandang. Sebagaimana firman Allah swt pada surah al-Jumu'ah ayat 9 :
               
                “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat jum'at, maka bersegeralah   kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu               jika         kamu mengetahui”.
               
                Melakukan transaksi jual beli adalah mubah, tetapi jika dilakukannya setelah adzan shalat jum'at, maka akan membawa kelalaian melaksanakan shalat jum'at. Demikian juga haram melihat aurat wanita yang bukan mahramnya, karena dapat menjerumuskan kita kepada haram lidzatihi yaitu berbuat zina. Dan juga bergurau dengan menggunakan ayat-ayat Al-qur'an, maka ini termasuk perbuatan yang haram karena perbuatan itu tanpa disadari akan dapat membawa pada perbuatan murtad.


4. Al-karahah (makruh)
            Dari segi etimologi, makruh berarti yang dibenci. Sedangkan dari segi terminologi ialah suatu perbuatan yang asy-syar'i menuntut mukallaf untuk meninggalkan perbuatan tersebut secara tidak mesti (menganjurkan untuk meninggalkannya) yang jika mukallaf menjauhi larangan itu karena patuh kepada Allah, maka ia akan diberi pahala, tetapi jika ia melanggar larangan itu maka ia tidak dikenai dosa dan ancaman siksa.
                Contohnya ialah berkumur-kumur dan memasukan air ke hidung secara berlebihan ketika berpuasa, karena dikhawatirkan akan tertelan sehingga membatalkan puasa. Demikian juga melambat-lambatkan pelaksanaan shalat ashar sampai mendekati waktu shalat maghrib. Secara garis besar, makruh dibagi menjadi dua bagian, yaitu : makruh tahrim dan makruh tanzih.


a. Makruh tahrim
Yang dimaksud dengan makruh tahrim ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukumnya tidak pasti. Contohnya ialah larangan mengkhitbah wanita yang sedang dalam khitbahan orang lain. Perbuatan ini dimakruhkan karena akan menimbulkan sakit hati diantara orang yang mengkhitbah.
b. Makruh Tanzih
Yang dimaksud dengan makruh tanzih ialah perbuatan yang terlarang, bila ditinggalkan
akan diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa. Seperti memakan daging kuda dan meminum susunya dikala sangat butuh diwaktu peperangan.

5. Al-ibahah (mubah)
            Dari segi etimologi mubah mempunyai arti melepaskan atau mengizinkan. Sedangkan dari segi terminologi ialah perbuatan yang asy-syar’i memberikan pilihan kepada mukallaf untuk melakukannya atau meninggalkannya, yang jika ia melakukan salah satunya mak ia tidak diberi pahala dan tidak diancam dosa dan siksa. Menurut sebagian ulama, hukum mubah lebih identik kepada halal atau jaiz (boleh). Contoh perbuatan mubah adalah perbuatan makan, minum, dan berpakaian yang halal.
                Meskipun dikatakan bahwa mubah adalah kebebasan untuk memilih berbuat atau tidak berbuat terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai mubah, tetapi dalam kenyataannya kebebasan memilih tersebut hanya merupakan hukum dasar dan tidak bersifat mutlak sama sekali. Dengan kata lain bahwa mubah hanya berlaku untuk sebagian waktu, tempat, siatuasi dan sebagian orang saja. Misalnya makan dan minum, meskipun hukum dasarnya mubah sehingga orang bisa memilih antara makan dan tidak makan atau minum dan tidak minum, akan tetapi seorang mukallaf tidak boleh meninggalkan makan dan minum sepanjang waktu, karena hal itu akan membawanya pada kematian, yang hukumnya menjadi haram. Demikian juga dengan bermian, hukumnya adalah mubah, tetapi jika orang melakukannya sepanjang waktu sehingga melalaikan kewajiban-kewajiban yang lain, maka perbuatan itu menjadi haram. Oleh karena itu, hukum mubah dapat dibagi menjadi menjadi beberapa macam, diantaranya :
a. Mubah yg berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yg wajib dilakukan. Misal: makan dan minum adalah sesuatu yg mubah, namun berfungsi untuk menggerakkan seseorang mengerjakan kewajiban shalat dan kewajiban-kewajiban yang lainnya.
b. Perbuatan mubah yang membawa kepada yang haram. Misalnya, bermain atau mendengarkan musik, jika ini dilakukan secara terus menerus sehingga menghabiskan waktu, maka hukumnya menjadi haram.
c. Perbuatan mubah yang membawa kepada hal yang mubah pula. Misalnya membeli perabot rumah tangga untuk kepentingan kesenangan.
               
                Jika diukur berdasarkan definisi yang dikemukaan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa mubah adalah ketentuan hukum yang bersifat netral, namun pada hakikatnya tidak. Karena setiap perbuatan, baik aktif maupun pasif selalu diiringi dengan niat, maka perbuatan mubah akan berubah menjadi wajib, mandub, haram dan juga makruh, ketika diiringi dengan niat. Dengan kata lain, ketika suatu perbuatan mubah telah dihubungkan dengan niat pelakunya, maka hukum mubah telah kehilangan esensinya
                Dengan demikian pada hakikatnya hukum mubah hanya ada dalam tataran teoritis, tetapi pada tataran praktis, hukum suatu perbuatan hanya salah satu dari empat macam hukum yang lainnya, yaitu wajib, mandub, haram dan makruh.













BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
            Berdasarkan penjelasan tentang pengertian hukum syara dan hukum taklifi diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa :
ü  Puncak atau inti dari ilmu ushul fiqih ialah hukum syara’.
ü  Hukum syara adalah : “Kalam Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik itu iqtidha (tuntutan), takhyir (pilihan), dan wadh’i (ketentuan yang ditetapkan). Yang dimaksud dengan kalam Allah ialah dalil hukum yang besumber dari Al-qur’an, sunnah, ijma serta qiyas. Sedangkan pebuatan mukallaf ialah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa (baligh), berakal sehat, termasuk perbuatan hati serta ucapan. Dan yang dimaksud dengan iqtidha ialah tuntutan atau perintah untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Takhyir ialah memilih untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, dan wadh’i ialah perbuatan yang berkaitan dengan sebab, syarat, dan halangan.
ü  Hukum syara dibagi menjadi dua, yaitu: hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi ialah hukum yang mengandung perintah, larangan serta pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Sedangkan hukum wadh’i ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan halangan.
ü  Hukum taklifi dibagi menjadi lima bagian atau sering disebut dengan “ahkam at-taklifi al-khomsah”, yaitu : al-wujub (wajib), an-nadb (mandub), al-hurmah (haram), al-karahah (makruh) dan al-ibahah (mubah).
ü  Wajib Secara etimologi berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, sesuatu yang diperintahkan Allah dan RasulNya untuk dilaksanakan oleh mukallaf, jika dilaksanakan mendapat pahala, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
ü  Mandub secara bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah, suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan RasulNya dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub atau nadb disebut juga sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadhilah.
ü  Haram secara bahasa berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara istilah, sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya, dimana orang yang melanggarnya diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannyakarena menaati Allah akan diberi pahala.
ü  Makruh secara bahasa berarti sesuatu yang dibenci. Secara istilah, sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dimana jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan pahala, dan jika dilanggar tidak berdosa. Namun sebagian ulama berpendapat jika perbuatan makruh ini dikerjakan maka akan dibenci oleh Allah swt.
ü  Mubah secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. Secara istilah, sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak, dan tidak ada hubungannya dengan dosa serta pahala. Namun perbuatan mubah ini akan berubah menjadi hukum yang empat –diatas-  jika diiringi dengan niat.

SARAN
                Untuk mempermudah pemahaman maupun praktik, sebaiknya mempelajari dengan cara pengelompokan masing-masing ilmu.
Demikianlah pembahasan tentang pengertian hukum syara’ dan hukum taklifi yang sangat sederhana ini. Untuk menyempurnakan makalah ini kami berharap kritik dan saran yang membangun dari semua peserta diskusi pada hari ini.




DAFTAR PUSTAKA

-          Ushul Fiqh, Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Penerbit AMZAH
-          www.slideshare.com

-          www.google.com


Tempat Belajar Pendidikan | SD | SMP | SMA | Kumpulan Tutorial Dan Kumpulan Artikel Ilmu Komputer | Seputar dan Belajar SEO | Blogging | Internet | Bisnis Online | etc hanya di NugrahPratama21
Demo Blog NJW V2 Updated at: 7/05/2017 01:23:00 PM
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

Total Views

Blog Followers

Popular Post

Blog Archive